REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Majelis vakim menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepadamantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara, dr Syamsul Hidayat dalam perkara korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU tahun 2019. Syamsul dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi proyek yang masuk dalam masa rehabilitasi pascagempa Lombok tahun 2018.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Syamsul Hidayat dengan hukuman lima tahun penjara," kata Hakim Ketua, Sri Sulastri dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin (24/10/2022), malam.
Hakim menyatakan, perbuatan Syamsul bersama terdakwa lain terbukti bersalah sesuai dakwaan primer penuntut umum. Salah satu pertimbangan yang memberatkan Syamsul adalah kerugian negara yang timbul dalam perkara tersebut senilai Rp 1,87 miliar.
Nilai kerugian yang disampaikan hakim lebih tinggi dari bukti audit Inspektorat NTB sebesar Rp 1,57 miliar. Namun, untuk pihak yang membayar uang pengganti, hakim membebankan kepada Darsito, penerima kuasa proyek dari kontraktor pelaksana PT Apro Megatama.
Dalam putusan secara terpisah, Darsito divonis tujuh tahun penjara. Ia juga harus membayar uang pengganti kerugian negara Rp 1,75 miliar. Angka tersebut adalah hasil pengurangan dari pengembalian kerugian negara pada tahap penyidikan Rp 170 juta.
"Apabila harta benda berharga milik terdakwa tidak cukup menutupi nilai uang pengganti maka terdakwa Darsito wajib menggantinya dengan pidana kurungan selama dua tahun," ujar Sri.
Selain Darsito dan Syamsul Hidayat, hakim juga membaca putusan untuk terdakwa Bakri, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek dan Sulaksono, konsultan pengawas proyek. Bakri dan Sulaksono divonis masing-masing pidana penjara lima tahun.
Jaksa Budi Tridadi menyampaikan pikir-pikir. Hal senada juga disampaikan para penasihat hukum dari empat terdakwa.
Perkara RSUD Lombok Utara yang ditangani Kejati NTB ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTB. Muncul catatan kekurangan pekerjaan proyek dengan nilai kerugian Rp 212 juta.
Pihak kejaksaan pun menindaklanjuti temuan BPK tersebut ke tahap penyelidikan. Sampai pada proses penyidikan, pihak kejaksaan memperoleh hasil audit inspektorat dengan nilai kerugian negara sekitar Rp 1,57 miliar.
Proyek tahun 2019 ini dikerjakan oleh PT Apro Megatama yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Pengerjaan proyek menelan dana Rp 6,4 miliar dari APBD Kabupaten Lombok Utara.