REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Aktivis Aliansi Perjuangan Pengemudi Nusantara (APPN) asal Lampung, Sunaryo, mengajak agar lima instansi terkait bisa duduk bersama dengan para sopir truk untuk membahas semua permasalahan truk ODOL (Over Dimension Over Load) ini secara bersama-sama.
Dia pun berjanji akan menyiapkan 34 perwakilan para sopir logistik dari seluruh Indonesia untuk menghadiri pertemuan itu.
“Saya meminta duduk bersama instansi terkait jika ingin menyelesaikan permasalahan truk ODOL ini. Saya akan siapkan 34 perwakilan seluruh Indonesia untuk duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan ini,” ujar Sunaryo, Rabu (26/10/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Dia juga berharap dinas pekerjaan umum tidak selalu menyalahkan pengemudi yang dianggap orang yang merusak infrastruktur negara. “Pengemudi ini kan cuma menjalankan perintah, kok dibilang merusak jalan,” kata dia.
Kepolisian ataupun Satlantas ataupun Kepolisian Lalu Lintas Negara Republik Indonesia sebagai penindak jalan kerap menggunakan pasal 307 untuk menindak truk ODOL. “Tidak semua pengemudi tahu terkait 307 ini seperti apa,” lanjutnya.
Pasal 307 terkait dengan UU RI Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 307 itu menjelaskan tentang pidana kurungan paling lama 2 bulan dan denda paling banyak Rp 500 ribu kepada pengemudi angkutan barang yang tidak memenuhi daya angkut sesuai dengan dimenasi kendaraan.
Yang keempat adalah Dinas Perhubungan darat atau BPTD atau Menteri Perhubungan sendiri.
Sunaryo menyebutkan, kendaraan Indonesia didesain dengan kendaraan turbo intercooler dengan kapasitas yang luar biasa tenaganya. “Tapi mengapa saat zero ODOL ditegakkan hal itu jadi dipermasalahkan?” tuturnya.
Dia mengatakan salah satu permasalahan yang harus dibicarakan dalam pertemuan itu dalah peroslan uji KIR. Menurutnya, uji KIR ini dikeluarkan oleh dinas perhubungan yang ada di provinsi masing-masing dan ini sangat membingungkan.
“Saya suka heran, saya tidak bisa KIR di Kabupaten Lampung Timur, tapi saya bisa KIR di Kabupaten Lampung Utara dan seterusnya. Ini masalah bagi kami,” ucapnya.
Dia menuturkan modifikasi dimensi truk itu dilakukan karena permintaan pasar yang kalau tidak dipenuhi tidak akan bisa bersaing dengan truk yang berukuran besar.
Misalnya dari yang tadinya hanya memiliki panjang cuma 7 meter ditambahi menjadi 8 meter 10 cm.
“Tapi saat itu hingga tahun 2021 kami tidak kesulitan untuk memerpanjang KIR. Dan ketika pemerintah menetapkan Indonesia zero ODOL 2023, kami tidak bisa KIR lagi dan membuat hidup kami jadi susah. Nah, yang seperti ini kan penting didiskusikan lagi,” ujarnya.
Terkait kecepatan dan kapasitas dari muatan, dia mengatakan truk Hino TI 2012, jauh lebih kuat dibanding dengan truk produk terbaru Euro 4.
“Hino 2012, 235 TI, kapasitas dari Lampung ke Dumai 18 ton, saya belum pernah makai gigi 2, 3 putus. Tanjakan seperti apapun pakai gigi 3 masih putus. Tapi dengan produk terbaru Euro 4, kalau jalan dari Lampung ke Pekanbaru, Kota Dumai atau ke Medan saja, kalau bawa muatan 15 ton sudah menjerit kita,” tuturnya.
Dia juga menyampaikan bahwa para pengemudi truk juga berharap ada tempat aduan bagaimana mereka mendapat tindak kriminalisasi dari para preman dan oknum di perlintasan.
“Saat perjalanan dari Jakarta ke Banda Aceh, berapa kali kami harus mengeluarkan royalti agar perjalanan kami bisa sampai di Aceh dengan selamat, aman, dan nyaman. Tapi saat ini kami tidak punya tempat untuk menyampaikan aspirasi kami ini,” kata dia.
“Kami selaku pengemudi mendukung penuh zero ODOL ini, tapi solusinya seperti apa untuk pengemudi ini harus ada,” tambahnya.
Sementara itu, Dosen Institut Transportasi dan Logistik Trisakti Desmon menyebutkan harus ada pembahasan dengan para pengemudi logistik untuk merumuskan solusi secara cerdas, konstruktif dan bermanfaat sebelum kebijakan zero ODOL ini diimplementasikan.
Dia mengatakan pemerintah harus mencermati 2 perspektif dari angkutan barang ini. Pertama, perspektif privat yaitu kelangsungan usaha dari pengelolanya. Kedua, perspektif publik bahwa ini dampaknya kemana-mana ini termasuk inflasi, keselamatan, dan keamanan.
Dalam hal ini, lanjut Desmon, pemerintah harus melakukan analisis terhadap dua sisi, yaitu manfaat ekonomi dan manfaat keuangan. Menurutnya, di situ akan terlihat pemerintah harus kontribusi berapa di dalam ODOL ini. Misalnya untuk insentif pemotongan truk ODOL, subsidi kepada pengemudinya, dan lain-lain. “Tentu ini harus ada dasarnya, karena APBN itu kan harus ada prioritas,” katanya.
Misalnya keluar dengan analisis manfaat ekonominya atau benefit cost ratio-nya (BCR) 2. Menurut Desmon, itu berarti pemerintah harus berkontribusi 50 persen terhadap semua biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari kebijakan zero ODOL ini.
Tapi apabila BCR-nya hanya 1,5, pemerintah hanya wajib berkontribusi 25 persen dari semua dampaknya baik kepada penghasilan pengemudi, dampak terhadap kenaikan barang, dan dampak kepada pemotongan truk. “Jadi, pemerintah tidak boleh lepas tangan, karena ini adalah masalah publik,” kata dia.