Selasa 01 Nov 2022 19:17 WIB

Muktamar ke-48 ‘Aisyiyah Bahas Sejumlah Isu Strategis, Termasuk Pemilu 2024 Berkeadaban

Asyiyah akan menggelar muktamar.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
 Asyiyah akan menggelar muktamar. Foto: logo aisyiyah.
Foto: tangkapan layar google
Asyiyah akan menggelar muktamar. Foto: logo aisyiyah.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelaksanaan Muktamar ke-48 'Aisyiyah semakin dekat. Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah telah menyusun sepuluh isu-isu strategi yang akan diusung dalam Muktamar, termasuk perihal Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 nanti.

"Isu strategis adalah isu-isu yang harus segera direspons dan dampaknya luas. Nantinya sembilan isu strategis ini juga menjadi bagian dari rekomendasi ‘Aisyiyah kepada pemerintah. ‘Aisyiyah akan mendorong agar isu-isu strategis ini menjadi isu proritas yang harus segera ditindaklanjuti," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini, dalam keterangan yang didapat Republika, Selasa (1/11/2022).

Baca Juga

Beberapa isu penting yang dimaksud adalah penguatan peran strategis umat Islam dalam mencerahkan bangsa, penguatan perdamaian dan persatuan bangsa, pemilihan umum yang berkeadaban menuju demokrasi substantif dan optimalisasi pemanfaatan digital untuk atasi kesenjangan dan dakwah berkemajuan.

Selain itu dibahas pula perihal penguatan literasi nasional, ketahanan keluarga basis kemajuan peradaban bangsa dan kemanusiaan semesta, penguatan kedaulatan pangan untuk pemerataan akses ekonomi, penguatan mitigasi bencana dan dampak perubahan iklim untuk perempuan dan anak,akses perlindungan bagi pekerja informal, serta penurunan angka stunting.

Jelang Pemilu nanti, ‘Aisyiyah juga menjadikan isu Pemilu yang berkeadaban menuju demokrasi substantif sebagai salah satu dari isu strategis. Pemilu kali ini dilakukan serentak, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan legislatif di tingkat pusat, provinsi, hingga pemilihan kepala daerah.

Menurut Noordjannah, sebagai sistem demokrasi untuk menjaring kepemimpinan di tingkat nasional maupun lokal, hendaknya pemilu dilakukan secara berkeadaban baik oleh semua pihak yang terlibat. Hal ini mulai dari penyelenggara, elit pemerintahan, partai politik, para calon dan pemilih, agar pemilu mendatang bisa mencerminkan kualitas demokrasi.

Belajar dari pemilu terdahulu, Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah menyebut hal itu belum menunjukkan perilaku yang berkeadaban dan demokrasi berkualitas.

Ia mencontohkan, fenomena politik pragmatis, politik uang yang sangat memprihatinkan, oligarki politik, orientasi kekuasaan yang sangat kuat sehingga segala cara ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Bahkan, Tri mengaku prihatin dengan menguatnya politik identitas yang masih berlanjut pasca-pemilu sehingga mengganggu kehidupan kebangsaan yang damai dan kolaboratif.

Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keragaman suku, ras, agama, golongan dan budaya disebut memerlukan sistem pemilu dan perilaku politik yang memperkuat persatuan dan menjunjung perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara.

"Bukan sebaliknya, pemilu yang menyisakan permasalahan yang membawa perpecahan sosial, sikap masyarakat yang pragmatis dengan politik uang, saling menyerang antar pendukung di media sosial, permainan hasil suara dan lain-lain," ucap dia.

Terkait mulai ramainya wacana pencalonan jelang pemilu 2024, Tri berpesan agar tidak membuat gaduh dan menimbulkan perpecahan yang dapat menjadi embrio kemunculan kembali politik identitas. Ia juga berharap wacana yang muncul dan diperbincangkan justru terkait dengan isu-isu maupun problem sosial ekonomi yang dihadapi bangsa ini dan harus dicarikan jalan keluar.

Selanjutnya, Tri juga menggarisbawahi tentang keterwakilan perempuan dalam kelembagaan penyelenggara pemilu di semua tingkatan. Misalnya, ia mengingatkan pendaftaran Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara sudah dimulai  pada pertengahan dan akhir November 2022 ini.

“Pemilu selama ini belum menunjukkan keberhasilan proses rekruitmen perempuan dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Keterwakilan perempuan belum mencapai 30 persen,” ujar Sekretaris PP ‘Aisyiyah ini.

Tri pun melihat ada beberapa faktor penyebab, seperti budaya patriarki yang masih mengutamakan laki-laki sebagai pemimpin khususnya di bidang politik, kaderisasi partai bagi perempuan belum optimal, daya dukung ekonomi dan lainnya. Apalagi fenomena politik berbiaya tinggi yang masih mewarnai praktik politik di negeri ini, juga menjadi kendala tersendiri dan turut mengurangi ketertarikan perempuan di wilayah politik.

Padahal, keterwakilan dan kepemimpinan perempuan sangat penting di berbagai level dan ruang publik untuk memajukan kehidupan masyarakat dan bangsa. Perempuan dipandang memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi pada persoalan yang dihadapi masyarakat, apalagi terkait dengan isu-isu perempuan, anak, maupun kelompok marjinal.  

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement