REPUBLIKA.CO.ID, MANILA – Pemerintah Filipina ingin mempercepat penerapan pakta pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) yang dikenal dengan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA). Proyek kerja sama di bawah kesepakatan tersebut ditangguhkan pada masa pemerintahan mantan presiden Rodrigo Duterte.
“Departemen berkomitmen untuk mempercepat implementasi EDCA dengan menyelesaikan proyek peningkatan dan perbaikan infrastruktur di lokasi EDCA yang ada,” kata juru bicara Departemen Pertahanan Nasional Filipina Arsenio Andolong, dilaporkan Bloomberg, Selasa (8/11/2022).
Andolong mengungkapkan, implementasi tersebut termasuk pengembangan proyek infrastruktur baru di lokasi EDCA yang ada. Selain itu, lewat penerapan EDCA, Filipina ingin mengeksplorasi lokasi baru yang akan membangun postur pertahanan timbal balik yang lebih kredibel.
Menurut Andolong, sejauh ini Filipina sudah mengalokasikan dana sebesar 65,5 juta dolar AS untuk proyek-proyek yang disetujui berdasarkan EDCA. Mereka dijadwalkan dilaksanakan dalam dua tahun ke depan.
Andolong mengungkapkan, saat ini Filipina dan AS juga tengah terlibat pembicaraan tentang bagaimana menerapkan Mutual Defense Treaty yang ditandatangani pada 1951. Hal itu guna memastikan perjanjian tersebut tetap relevan untuk mengatasi tantangan keamanan kontemporer.
EDCA ditandatangani Filipina dan AS pada 2014. Pakta tersebut memungkinkan AS merotasi pasukan untuk masa tinggal yang lama serta membangun dan mengoperasikan fasilitas di pangkalannya. Diskusi terbaru mengenai EDCA terjadi saat hubungan AS dan China terus memburuk.
Salah satu isu yang melibatkan AS, China, dan Filipina adalah terkait persengketaan klaim di Laut China Selatan. Manila merupakan salah satu negara ASEAN yang menentang klaim Beijing atas wilayah perairan strategis tersebut. Dalam masalah ini, Washington menunjukkan keberpihakannya kepada negara-negara ASEAN.
AS diketahui berulang kali mengoperasikan kapal perangnya di sekitar Laut China Selatan dengan alasan kebebasan navigasi. Kegiatan tersebut selalu mengundang kritik dan kecaman dari Beijing karena dianggap tindakan provokasi.