REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Beban yang harus ditanggung masyarakat dan industri yang terpukul akibat pandemi Covid-19 masih sangat berat.
Karenanya, pemerintah perlu berhati hati dalam membuat regulasi agar tidak merugikan masyarakat.
Hal itu disampaikan guru besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan pakar hukum persaingan usaha, Ningrum Natasya Sirait, menyikapi rencana labelisasi BPA pada galon isi ulang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurutnya, setiap regulasi yang dibuat pemerintah itu seharusnya melihat juga urgensi dan dampaknya bagi masyarakat dan industri. Bagi industri, kepastian hukum sangatlah penting.
“Dunia ini sangat dinamis, pandemi kemarin membikin semua orang kolaps. Orang persaingan seperti saya, simple sekali melihatnya, apakah itu (peraturan) akan menjadi burden baru atau beban baru, yang harus dihitung balance atau ekuivalensinya,” ujar Ningrum pada acara talk show Trijaya bertema “Kasus Etilen Glikol, Pelabelan Kemasan Tidak Boleh Diskriminatif”, dalam keterangannya, Ahad (13/11/2022).
Dia menegaskan bahwa dunia industri dan dunia persaingan itu sangat ditentukan regulasi yang dikeluarkan apakah akan menambah beban atau tidak.
“Jadi, kalau peraturan yang dibuat BPOM itu bersifat diskriminatif, itu hanya menguntungkan satu pelaku usaha dan pasti akan menyebabkan keributan. Jangan gitu dong, level playing field-nya mesti sama,” ujarnya.
Menurut Ningrum, kalau ada yang sifatnya diskriminatif dan mematikan satu dunia usaha atau satu pelaku usaha tertentu seperti peraturan pelabelan BPA yang hanya dikenakan pada galon guna ulang, itu bisa di-judicial review peraturannya.
“Apalagi dalam suasana yang sensitif seperti ini. Kita baru saja pandemi, ekonomi berantakan, memang nggak ada prioritas lain yang bisa dikerjakan BPOM yang lebih memastikan masyarakat kita lebih aman. Nggak usah diurusilah yang printilan-printilan seperti pelabelan BPA. Kecuali ada interest tertentu,” kata dia.
Karenanya, Ningrum meminta agar BPOM tidak mengeluarkan peraturan tanpa memikirkan aspek holistik dari seluruh stakeholder, bukan mau membela sepihak.
Menurut Undang Undang No 12/2012, peraturan yang kredibel harus melalui penyusunan naskah akademik dan uji publik yang melibatkan semua stakeholder terdampak.
Di berbagai belahan dunia, kata Ningrum, setiap kali ingin membuat peraturan, pasti dia harus menghitung dulu regulatory impact assessment (RIA). “Kalau aku keluarkan ini peraturan, siapa yang terkena dampaknya,” ucapnya.
“Saya bukan apriori, saya respek sekali kepada BPOM. Tapi bagi saya, sebenarnya nggak tertarik soal pelabelan BPA galon guna ulang ketimbang harus mengurus musibah sirup obat batuk yang menyebabkan banyak anak meninggal,” tambahnya.
Dalam diskusi ini Ningrum juga mempertanyakan prioritas kerja Kepala BPOM, Penny K Lukito, yang beberapa waktu lalu gencar mengupayakan pelabelan BPA pada galon guna ulang.
Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama
Kini merebak kasus yang mengagetkan masyarakat terkait kematian ratusan pasien gagal ginjal akut yang kebanyakan adalah anak-anak yang diduga terkait dengan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada sirup obat batuk.
Apalagi, katanya, Kepala BPOM seolah lepas tanggung jawab dalam menyikapi kejadian yang seharusnya menjadi perhatian utamanya sebagai lembaga pengawas obat dan makanan.
“Kejadian pada sirup obat batuk ini bukan hanya warning melainkan betul-betul peringatan bagi BPOM. Sudah berjatuhan korban dan sudah ribut. Saya sangat tidak sepakat Kepala BPOM mengatakan bukan hanya tanggung jawabnya melainkan melemparkan juga kepada industri. Kalau saya di situ (BPOM), nggak mungkin anak buah saya yang rusak, pasti jenderalnya yang mesti tanggung jawab,” ujarnya.