Rabu 16 Nov 2022 22:10 WIB

CISDI: Masih Banyak PR yang Harus Diselesaikan oleh G20

Indonesia berkomitmen menyumbang setidaknya 50 juta dolar AS.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Stevy maradona
   Media Luncheon bertajuk
Foto: Dian Fath Risalah
Media Luncheon bertajuk "Communicating Global Health: Time for New Approaches" di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/10/2022), yang digelar oleh CISDI, membahas soal dana pandemi untuk mengantisipasi masa depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) menilai masih banyak "pekerjaan rumah" yang harus diselesaikan oleh group of twenty (G20). Hal ini diungkapkan Founder & CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih dalam media luncheon bertajuk "Communicating Global Health: Time for New Approaches" di Conrad Bali, Nusa Dua, Bali pada Senin (14/10/2022). 

"Sebagai organisasi masyarakat sipil, CISDI menilai masih banyak 'PR' bersama yang harus dilanjutkan, disempurnakan, dan diselesaikan oleh G20, maupun inisiatif global lainnya agar desain ulang arsitektur kesehatan global yang mampu menjamin ketahanan kesehatan bagi semua, bisa terjadi, dan tercapai," ujar dia. 

CISDI memiliki empat catatan. Pertama adalah peran publik serta masyarakat sipil adalah krusial dan dibutuhkan untuk memastikan pengawasan terhadap penggunaan pendanaan pandemi (pandemic fund) dapat berjalan baik dan transparan.

"Pendanaan pandemic fund hingga saat ini masih bergantung pada kontributor tradisional. Hal ini mengakibatkan dana baru yang terkumpul sebesar USD (US dollar atau dolar Amerika Serikat) 1,4 miliar atau hanya 10 persen dari keseluruhan target yang dicanangkan dalam pandemic fund, sesuai perhitungan World Bank (Bank Dunia) dan WHO (World Health Organization/Organisasi Kesehatan Dunia)," tuturnya dia. 

Selain itu, kata dia, tidak semua kontributor menandatangani kerja sama jangka panjang, baik dalam siklus kontribusi tiga maupun lima tahunan. Sehingga keberlanjutan pendanaan ini dipertanyakan.

Dalam kacamata domestik, lanjut Diah, Indonesia berkomitmen menyumbang setidaknya 50 juta dolar AS atau Rp740 miliar dalam pandemic fund melalui sumber pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menurut dia, memberikan komitmen finansial tambahan untuk kesehatan global bukanlah sebuah langkah yang biasa diambil oleh Indonesia. 

"Oleh karenanya perlu pelibatan masyarakat sipil bermakna untuk mengawal bagaimana kontribusi ini akan diterjemahkan ke depannya. Selain itu, peran masyarakat sipil diperlukan dalam proses pengambilan keputusan guna memastikan pandemic fund merefleksikan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya," ucap Diah. 

Kedua CISDI menyoroti harus ada  pembiayaan kesehatan pada pembangunan dan peningkatan kapasitas, serta resiliensi sistem kesehatan. Meskipun prioritas penggunaan dana di tahap pertama belum mencapai tercapai sesuai target yang diharapkan, rencana tata kelola dan operasional dari pandemic fund tetap harus disiapkan. 

"Belajar dari pandemi, transformasi layanan kesehatan primer, yang belum secara spesifik disebutkan dalam prioritas area untuk menerima pendanaan dari pandemic fund, serta masukan dari berbagai komunitas sesuai kebutuhan, harus menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan prioritas ranah pembiayaan yang akan ditetapkan," tutur Diah. 

Ia pun juga menyoroti ihwal masih ada terkendalanya transformasi layanan kesehatan primer. Timpangnya kapasitas layanan kesehatan primer merupakan catatan utama WHO, World Bank, dan GAVI sebagai salah satu penyebab tidak tercapainya cakupan vaksinasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah terhadap negara berpenghasilan tinggi.

Oleh karena itu, penetapan prioritas pandemic fund membutuhkan konsultasi dan partisipasi penerima manfaat untuk dapat merepresentasikan kebutuhan mereka dan tidak berisiko mengulang kembali ketidakadilanstruktural pembiayaan kesehatan global.

Ketiga, sambung Diah, adalah harus memaksimalkan kepemimpinan G20 sebagai pengaktif untuk mengatasi beban penyakit yang ada dan permasalahan akses terhadap obat, vaksin, dan alat kesehatan (alkes) terkait pandemi sebagai barang publik di tingkat global. Menurutnya dengan adanya Joint Financial and Health Minister Meeting (JFHMM) serta kesepakatan yang dicapai

di bawahnya menjadi sebuah landasan yang dibutuhkan untuk mencapai kesiapsiagaan pandemi. 

"Kesiapsiagaan pandemi berhulu pada kesepahaman dan keterhubungan antara sektor kesehatan dengan keuangan. Adanya kelompok kerja keuangan dan kesehatan serta JFHMM di bawah inisiatif G20 seharusnya menjadi pembuka komunikasi kebijakan terjalin baik antara kedua sektor penting ini agar dunia siap menghadapi pandemi berikutnya," kata dia. 

Diah menambahkan, bahwa belajar dari pengalaman global Fund, saat ini sulit untuk bisa merujuk pada sebuah mekanisme pendanaan yang berasal dari tingkat global bisa terlaksana dan digunakan oleh negara hingga mencapai komunitas. Oleh karena itu, dibutuhkan landasan prinsip nilai yang disepakati bersama dengan semangat inklusi dan kesetaraan agar pendanaan bisa bermanfaat dan mencapai negara-negara hingga komunitas-komunitas yang membutuhkannya.

"Kami berharap, catatan yang disampaikan serta diskusi kita pada hari ini dapat menjadi pengingat bahwa upaya untuk mendesain ulang arsitektur kesehatan global yang mampu menjamin ketahanan kesehatan bagi semua belum selesai," harapnya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement