REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Polisi menyetop dan menggeledah warga di lokasi unjuk rasa di Shanghai dan Beijing. Tindakan itu dilakukan setelah massa di sana dan kota-kota lain memprotes kebijakan ketat Covid-19 yang telah mengganggu kehidupan selama tiga tahun terakhir.
Di jalan-jalan beberapa kota sampai lusinan kampus universitas, unjuk rasa pecah menunjukkan ketidakpatuhan warga yang tidak biasa sejak Xi Jinping berkuasa satu dekade yang lalu. Selama ia berkuasa Xi menindak keras pembangkang.
Ia memperluas sistem pengawasan sosial teknologi canggih yang membuat protes semakin sulit dan beresiko untuk dilakukan.
"Apa yang kami tolak pembatasan pada hak rakyat atas nama pencegahan virus dan pembatasan pada kebebasan individu dan mata pencaharian rakyat," kata seorang mahasiswa di Shanghai, Jason Sun, Ahad (27/11/2022).
Belum ada tanda-tanda unjuk rasa baru pada Senin (28/11/2022) di Beijing atau Shanghai. Tapi puluhan polisi berjaga di lokasi unjuk rasa digelar pada hari sebelumnya.
Polisi telah meminta telepon genggam orang-orang untuk diperiksa apakah mereka memiliki virtual private networks (VPN) dan aplikasi kirim pesan Telegram yang digunakan pengunjuk rasa. VPN ilegal bagi sebagian besar rakyat China, sementara Telegram diblokir di China.
Ditanya tentang kemarahan atas kebijakan tanpa toleransi Covid-19. "Apa yang ada maksud tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi," jawab juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhou Lijian.
"Kami percaya dengan pemimpin Partai Komunis China dan kooperasi dan dukungan rakyat China, perjuangan kami melawan Covid-19 akan berhasil," katanya.
Penolakan terbaru terhadap pembatasan Covid-19 menjadi kemunduran bagi upaya China menyingkirkan habis virus tersebut. Kebijakan tanpa toleransi berdampak pada banyak orang yang mengorbankan pendapatan, mobilitas dan kesehatan mental demi mencegah virus menyebar.
Kebijakan ketat Cina berhasil mempertahankan angka kematian Covid-19 di Negeri Tirai Bambu hanya ribuan kasus. Jauh lebih rendah dibanding Amerika Serikat (AS) yang mencapai jutaan.
Namun harga yang perlu dibayar sangat mahal pasalnya memaksa jutaa orang tetap berada di rumah. Mengguncang dan merusak ekonomi perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Pakar mengatakan melonggarkan kebijakan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi. Seperti resiko gelombang infeksi yang dapat menjadi beban berat bagi rumah sakit dan mendorong angka kematian di negara yang memiliki ratusan juta orang lanjut usia itu. n Lintar Satria/Reuters