REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA -- Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau pada Selasa (29/11/2022) mengatakan, warga China berhak untuk menyampaikan protes sebagai bentuk mengekspresikan diri mereka. Dia menambahkan bahwa warga Kanada mengamati dengan cermat protes terhadap kebijakan nol Covid-19 yang meluas di China.
"Setiap orang di China harus diizinkan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, harus diizinkan untuk berbagi perspektif dan bahkan memprotes," kata Trudeau.
Ketidakpuasan atas kebijakan pencegahan Covid-19 yang ketat memicu protes di sejumlah kota di China. Ini adalah gelombang pembangkangan sipil terbesar sejak Presiden Cina Xi Jinping berkuasa satu dekade lalu. China mengerahkan petugas polisi di Beijing dan Shanghai pada Selasa (29/11/2022) untuk mencegah lebih banyak protes yang telah mengganggu mobilitas warga, merusak ekonomi dan memicu seruan langka agar Xi mundur. Kementerian Luar Negeri China mengatakan, hak dan kebebasan harus dilaksanakan dalam kerangka hukum.
"Kami akan terus memastikan bahwa China tahu kami akan membela hak asasi manusia, kami akan mendukung orang-orang yang mengekspresikan diri mereka sendiri," ujar Trudeau.
Aksi protes juga berlangsung di luar konsulat Cina di Toronto pada Selasa (29/11/2022). Sekitar 40 orang berkumpul di luar konsukat dengan membawa spanduk, bendera dan pengeras suara. Mereka meneriakkan: "Bebaskan Tibet! Bebaskan China! Bebaskan Hong Kong! Xi Jinping! Mundur!"
Beberapa orang juga mengangkat lembaran kertas putih kosong, yang telah menjadi simbol pembangkangan di China. Ini adalah taktik yang digunakan untuk menghindari penyensoran atau penangkapan. Seorang pengunjuk rasa, Hugh Yu, membantu mengatur aksi protes di Toronto. Dia meminta warga Kanada dan pemerintah Kanada untuk berbicara menentang tindakan China.
"Banyak orang tidak ingin mati dalam diam. Saya tidak ingin berdiri di sini dan berbicara dengan kalian. Tapi saya tidak punya pilihan," ujar Hugh Yu.
Seorang mahasiswa ilmu politik China di University of Toronto, membawa spanduk bertuliskan "Ganyang Xi Jinping". Mahasiswa yang menolak menyebutkan namanya itu, sebelumnya merupakan pendukung Xi dan pemerintahannya. Tetapi lambat laun kondisi hak asasi manusia di China semakin memburuk.
"Ada harapan China akan secara bertahap melakukan reformasi menjadi demokrasi liberal. Tapi mimpi itu telah runtuh," kata mahasiswa itu.