Rabu 30 Nov 2022 14:28 WIB

Kremlin: Ukraina Harus Siap Bahas Tuntutan Rusia Jika Ingin Berunding

Rusia menyoroti syarat tak realistis yang diajukan Ukraina sebelum memulai negosiasi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Pemandangan umum Jembatan Antonivsky yang rusak di Kherson, Ukraina, Ahad, 27 November 2022. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, negosiasi antara Rusia dan Ukraina hanya bisa dimulai jika Kiev menunjukkan kemauan politik untuk membahas tuntutan Moskow.
Foto: AP Photo/Bernat Armangue
Pemandangan umum Jembatan Antonivsky yang rusak di Kherson, Ukraina, Ahad, 27 November 2022. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, negosiasi antara Rusia dan Ukraina hanya bisa dimulai jika Kiev menunjukkan kemauan politik untuk membahas tuntutan Moskow.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, negosiasi antara Rusia dan Ukraina hanya bisa dimulai jika Kiev menunjukkan kemauan politik untuk membahas tuntutan Moskow. Peskov menyebut, sejauh ini Ukraina belum memperlihatkan hal tersebut.

“Harus ada kemauan politik dan kesiapan untuk membahas tuntutan Rusia yang sudah diketahui,” kata Peskov saat menjawab pertanyaan tentang apakah langkah yang harus diambil otoritas Ukraina guna memulai proses negosiasi selain mengatasi larangan legislatif tentang mengadakan pembicaraan dengan Moskow, Selasa (29/11/2022), dilaporkan laman kantor berita Rusia, TASS.

Baca Juga

Peskov mengungkapkan, saat ini negosiasi atau pembicaraan tidak mungkin dilakukan karena hal tersebut sepenuhnya ditolak oleh Ukraina. “Operasi militer khusus (Rusia di Ukraina) terus berlanjut,” ucapnya.

Salah satu tuntutan utama Rusia terhadap Ukraina adalah agar negara tersebut tak bergabung dengan Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Namun pada 30 September lalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah secara resmi mengajukan permohonan aksesi "jalur cepat" aliansi pertahanan tersebut. Hal itu dilakukan setelah Rusia secara resmi menganeksasi empat wilayah Ukraina, yakni Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia.

Sebelumnya Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menyampaikan bahwa negaranya tak menolak negosiasi dengan Ukraina. Penolakan semacam itu, kata Lavrov, justru muncul dari Kiev sendiri.

"Kami telah berulang kali mengkonfirmasi melalui presiden kami bahwa kami tidak menolak untuk bernegosiasi. Jika ada yang menolak untuk bernegosiasi, itu adalah Ukraina. Semakin lama (Ukraina) terus menolak, semakin sulit untuk mencapai kesepakatan," kata Lavrov kepada awak media di sela-sela KTT G20 di Bali, 15 November lalu.

Lavrov pun menyoroti persyaratan tak realistis yang diajukan Ukraina sebelum memulai negosiasi. Menurutnya, hal tersebut turut menjadi faktor penghambat dimulainya dialog atau perundingan. Diplomat berusia 72 tahun itu juga telah membantah kabar yang menyebut bahwa Amerika Serikat (AS) telah membuka jalan agar Rusia dan Ukraina dapat bernegosiasi.

"Mengenai laporan bahwa Amerika diduga sedang mempersiapkan beberapa negosiasi: rumor ini terus muncul dan juga dengan keberhasilan yang sama kemudian menghilang. Kami tidak lagi bereaksi terhadapnya," kata Lavrov.

"Kami ingin melihat bukti nyata bahwa Barat sangat tertarik untuk mendisiplinkan (Presiden Ukraina Volodymyr) Zelensky dan menjelaskan kepadanya bahwa ini tidak dapat dilanjutkan, bahwa ini bukan untuk kepentingan rakyat Ukraina atau kepentingannya sendiri," tambah Lavrov.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement