REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa skrining atau deteksi penyakit bagi penderita penyakit HIV/AIDS semakin membaik, namun jumlah orang yang mendapatkan pengobatan masih tergolong rendah. "Penemuan kasus kita secara estimasi makin lama makin kuat. Tapi yang diobati ini masih tantangan besar. Ada apa sehingga yang dapat Antiretroviral(ARV) ini justru rendah," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu dalam Peringatan Hari AIDS Sedunia 2022 yang diikuti di Jakarta, Kamis (1/12/2022).
Maxi mengatakan, jika penemuan kasus yang pemerintah sudah lakukan bisa menembus 400 ribu hingga 453 ribu kasus infeksi. Namun, jumlah orang dengan HIV (ODHIV) yang pernah menerima pengobatan ARVjustru hanya mencapai 300 ribu lebih.
"Mirisnya lagi, ODHIV yang masih hidup dan menjalani ARV hanya tersisa sekitar 130 ribu dan yang tersupresi berada di bawah 10 persen," katanya.
Menurut dia, jika Indonesia saat ini sudah memiliki tempat skrining HIV sebanyak 10.100 lebih baik di puskesmas ataurumah sakit. Hanya saja, dibutuhkan peningkatan upaya preventif di layanan kesehatan primer untuk memperkuat skrining pada populasi kunci.
Sebab berdasarkan persentase, baru 30 persen orang yang bisa mendapatkan pengobatan di puskesmas-puskesmas itu. Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh adanya kendala biaya transportasi, jarak yang jauh, sifat malas atau tidak adanya izin yang diberikan oleh pasangan untuk melakukan pengobatan sehingga memicu terjadinya lost to follow up.
"Kemudian yang perlu kita tingkatkan adalah bagaimana akses melakukan pelayanan ARV kita, yang belum sampai 3 ribu, ini baru 2.900. Saya kira ini juga kendala kenapa orang ARV-nya itu rendah karena akses untuk mendapatkan pengobatan ini masih sedikit," katanya.
Selain meningkatkan upaya preventif, hal lain yang perlu dilakukan untuk mencegah HIV semakin marak adalah dengan memberikan pendampingan pada keluarga, termasuk memperbanyak testing dan pengobatan melalui viral load yang hingga kini jumlahnya masih sedikit. Menurut dia, untuk mencapai target three zero pada2030, dibutuhkan kerja keras yang lebih kuat baik bersama kementerian/lembaga terkait, pihak swasta hingga tokoh agama dan jaringan komunitas masyarakat.
Oleh karena itu, Maxi meminta utamanya pada Kemendikbudristek untuk mulai memberikan pemahaman terkait kesehatan reproduksi di sekolah agar pemahaman anak lebih matang saat memasuki usia remaja. Dia turut meminta semua pihak terkait bersama Kemenkes agar menggaungkan lebih keras bahaya seks bebas dan memperkuat pengendalian HIV/AIDS dalam masyarakat.
"Waktu kita sudah tidak banyak untuk mencapai three zero pada 2030 untuk tidak ada kasus baru, tidak ada kematian dan diskriminasi. Tinggal delapan tahun, saya agak khawatirini berat sekali karena saya lihat dari program HIV/AIDS yang ada data kita sudah mulai bagus di skrining tetapi belum ada tanda-tanda (keberhasilan)," ucap Maxi.