REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Harian Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Mia Hanafiah, mengatakan pengendalian tembakau menjadi salah satu upaya preventif dan promotif yang akan memperkuat kesehatan bangsa.
"Kita, terutama pemerintah, hendaknya mulai melepaskan pola pikir dari sisi kuratif dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat," kata Mia Hanafiah di Jakarta, Kamis (1/12)
Mia menuturkan konsumsi rokok seharusnya dipandang menjadi salah satu faktor penyebab banyak masalah kesehatan di tengah masyarakat, baik dari sisi hilangnya produktivitas karena kesakitan maupun beban biaya kesehatan.
Oleh karena itu, program transformasi kesehatan yang dirancang Kementerian Kesehatan diharapkan akan mengubah sistem kesehatan di Indonesia yang lebih fokus pada upaya-upaya preventif-promotif sehingga dibutuhkan kebijakan yang mengubah penanganan kesehatan dengan melihat faktor penyebab kesakitan yang dialami masyarakat termasuk untuk mengendalikan tembakau dalam mengurangi konsumsi rokok.
Untuk itu, Mia berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 untuk memperkuat perlindungan masyarakat terutama pada anak-anak dan keluarga miskin dari konsumsi rokok yang mengandung zat adiktif nikotin, baik produk rokok konvensional maupun rokok elektronik.
Penguatan peraturan yang ada di PP 109 Tahun 2012 diharapkan mampu menekan prevalensi perokok anak yang terus naik, yang saat ini telah mencapai 9,1 persen berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Sementara, jumlah perokok dewasa dalam 10 tahun terakhir pun naik menjadi 8,8 juta orang.
Penguatan perlindungan tersebut diharapkan dilakukan melalui larangan iklan rokok di internet dan media luar ruang, larangan promosi dan sponsor rokok, perluasan peringatan kesehatan bergambar, larangan penjualan ketengan, pengaturan rokok elektronik, serta penguatan sanksi dan pengawasan kawasan tanpa rokok.
Temuan Riset Center for Indonesia?s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan kebiasaan merokok menciptakan beban ekonomi kesehatan di Indonesia mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun pada 2019. Studi tersebut berupaya mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan penyakit-penyakit mematikan, namun bisa dicegah, yang disebabkan konsumsi rokok.
CISDI menyebutkan mayoritas beban biaya ekonomi kesehatan berasal dari biaya rawat inap dan perawatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. Angka Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun setara dengan 61,76 persen hingga 91,8 persen total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019.
"Hendaknya pemerintah juga fokus pada penanganan konsumsi rokok demi menyelamatkan rupiah yang tertelan akibat konsumsi rokok yang sangat tinggi di Indonesia," ujarnya.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati mengatakan Kementerian Kesehatan telah melakukan berbagai upaya seperti kampanye dan saat ini pihaknya menyasar ke pelosok sejak 2000-an dengan kampanye Pola Hidup Bersih dan Sehat, salah satunya tidak merokok dan akan terus mengupayakan pengendalian konsumsi rokok.
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Nancy Dian Anggraeni menuturkan hasil uji publik revisi PP 109 Tahun 2012 telah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang PMK kepada Menteri Kesehatan dan uji prakarsa akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.