Komisi II DPR RI Nilai Sistem Pelayanan Publik Kota Bogor Cukup Baik

Digitalisasi Kota Bogor sudah tersertifikasi dengan sistem yang cukup baik

Senin , 05 Dec 2022, 18:38 WIB
Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI Endro Suswantoro Yahman menilai, sistem pelayanan publik Pemerintah Kota Bogor sudah cukup baik dan bagus, dengan dukungan digitalisasi yang memadai, hanya perlu meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat agar dapat memanfaatkan pelayanan publik yang sudah memadai tersebut.
Foto: istimewa
Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI Endro Suswantoro Yahman menilai, sistem pelayanan publik Pemerintah Kota Bogor sudah cukup baik dan bagus, dengan dukungan digitalisasi yang memadai, hanya perlu meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat agar dapat memanfaatkan pelayanan publik yang sudah memadai tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI Endro Suswantoro Yahman menilai, sistem pelayanan publik Pemerintah Kota Bogor sudah cukup baik dan bagus, dengan dukungan digitalisasi yang memadai, hanya perlu meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat agar dapat memanfaatkan pelayanan publik yang sudah memadai tersebut.

"Kalau pelayanan publik di Kota Bogor ini memang sejak dahulu baik, sudah baik, sistemnya juga sudah terkoordinasi dengan baik, IT nya jg sudah berjalan dengan baik, peningkatan-peningkatan itu paling bagaimana itu mendorong masyarakat untuk lebih aktif memanfaatkan dari sistem yang sudah mapan ini," katanya di Balai Kota Bogor, Paseban Sri Bima, Jawa Barat, Senin (5/12/2022).

Baca Juga

Endro melanjutkan, digitalisasi Kota Bogor sudah tersertifikasi dengan sistem yang cukup baik, ke depannya diharapkan Pemerintah Kota Bogor juga dapat mengajak masyarakat agar dapat memanfaatkan sistem yang ada tersebut.

Kunjungan kerja spesifik Komisi II DPR RI ke Kantor Walikota Bogor, untuk melihat dan mendengar secara langsung, kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan sistem pelayanan publik di Kota Bogor.

Selain mengevaluasi pelaksanaan sistem pelayanan publik, ini juga kaitannya dengan implementasi UU Cipta Kerja dalam sistem pelayanan publik. Dari paparan yang disampaikan, kendala yang mendasar adalah banyaknya proyek perizinan usaha yang membutuhkan penyesuain dengan aturan turunan UU Cipta Kerja.

"Kalau pelayanan publik di Kota Bogor sudah baik, sudah bagus, dimana Kementerian Lembaga banyak yang terlibat dalam mal pelayanan publik. Tetapi ada salah satu hal yang mendasar, kaitannya bahwa banyak sekali projek perizinan yang harus penyesuaian dengan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law," tandasnya.

Menurutnya, perubahan-perubahan turunan dari Omnibus law ini butuh penyesuaian ke dalam petunjuk pelaksanaan teknis dan peraturan daerahnya, dimana hal ini yang menjadi hambatan mendasar, karena perlu adaptasi dengan perubahan-perubahan mendasar tersebut.

"Ya begini, UU Cipta kerja kan semangatnya kan memberi kesempatan seluas-luasnya masyarakat untuk berusaha, karena Pemerintah belum mampu memberi pekerjaan, dan ini semangatnya membuka ruang usaha seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berusaha. Persoalannya selama ini sebelum ada UU Cipta Kerja kan sudah terbangun sistem pelayanan berbasiskan baik digital juga ada, tapi berbasiskan UU yang lama baik sebelum UU Cipta Kerja ada Permendagri, ada Menpan RB," jelasnya.

Endro menambahkan, dengan adanya UU Cipta Kerja ini mengharuskan ada penyesuaian turunannya, entah dari KemenPAN-RB maupun Kemendagri yang berupa surat edaran, yang sudah pasti berdampak kepada perubahan-perubahan teknis mendasar, di dalam sistem pemerintah daerah setempat.

"Iya, ini Gpp inikan UUnya juga sudah harus kita sepakati untuk kita jalankan, ini tinggal bagaimana proses kita adaptasi saja, kita tidak merubah, tapi kita mengikuti dengan proses adaptasi yang berbeda," tuturnya.

Sementara, Anggota Komisi II DPR RI Dian Istiqomah menanggapi implementasi UU Omnibus Law yang mengurangi pendapatan daerah, atau secara tidak langsung memangkas retribusi daerah. Menurutnya, hal ini perlu dikaji ulang dan dibicarakan dengan seluruh stakeholder terkait.

"Menurut saya ini perlu di kaji ulang lagi, dan kita bicarakan duduk bersama dengan pimpinan-pimpinan daerah, jadi ada kesepakatan berapa persen bagian untuk Kementerian dan berapa persen untuk daerah. Jadi kalau selama ini yang dari UU itu kan sebenernya UU di dalam UU. Dan disini retribusi itu langsung ke Negara tidak ada retribusi sisa untuk daerah sehingga daerah kehilangan pendapatan, dan ini akan sangat mempengaruhi sekali ketika ada pengeluaran-pengeluaran yang menggunakan APBD,"  katanya.

Sementara, Wakil Walikota Bogor Dedie A. Rachim berharap Komisi II DPR RI dapat mengkomunikasikan seluruh kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Bogor kepada Pemerintah Pusat, utamanya kendala implementasi UU Cipta Kerja yang terkait dengan perizinan usaha.

"Karena ada misalnya perizinan-perizinan yang kemudian setelah era DPMPTSP Pelayanan Satu Pintu, sekarang justru dengan adanya UU Cipta Kerja dan turunannya ini dikembalikan lagi ke instansi atau dinas yang terkait. Jadi yang tadinya kita coba di konsolidasikan menjadi satu pintu sekarang dikembalikan lagi ke dinas masing-masing," katanya.

Sementara hal lainnya lagi yang membutuhkan bantuan Komisi II DPR RI adalah kaitannya dengan ketersediaan blangko E-KTP, dimana Kebutuhan Kota Bogor pertahun ada 120 ribu blangko E-KTP, namun sepertinya Pemerintah Pusat belum bisa memenuhi itu, hal ini juga akhirnya menjadi kendala bagi Pemkot Bogor dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.