REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pemogokan nasional oleh pengemudi truk Korea Selatan telah menyebabkan hampir 100 pompa bensin di seluruh negeri kekurangan pasokan. Serikat pekerja nasional melancarkan aksi mogok pada Selasa (6/12/2022) untuk mendukung para pengemudi.
Aksi mogok para pengemudi truk yang menuntut program upah minimum dimulai pada 24 November. Serikat pekerja dan pemerintah telah melangsungkan dua sesi negosiasi, namun sejauh ini belum ada terobosan. Ketika pasokan bahan bakar dan bahan bangunan menipis, pemerintah Korea Selatan meningkatkan tekanan untuk mengakhiri pemogokan.
Presiden Yoon Suk-yeol pada Ahad (4/12/2022) memerintahkan persiapan untuk mengeluarkan perintah kembali bekerja bagi pengemudi di sejumlah sektor seperti penyulingan minyak, pembuatan baja, dan industri semen. Perintah ini dikeluarkan untuk pertama kalinya dalam sejarah Korea Selatan. Konfederasi Serikat Buruh Korea (KCTU) menyebut perintah "mulai bekerja" yang dikeluarkan presiden setara dengan darurat militer. KCTU mengatakan, pemerintah harus bernegosiasi.
Menurut data Korea National Oil Corp, hingga Senin (5/12/2022) sore, hampir 100 SPBU kehabisan bahan bakar. Sekitar 60 persen dari mereka berada di provinsi Seoul dan Gyeonggi, yang merupakan wilayah berpenduduk padat di dekat ibu kota. Di tengah melonjaknya harga bahan bakar, sebanyak 25.000 pengemudi truk meminta pemerintah untuk menyediakan sistem upah minimum permanen yang dikenal sebagai "Safe Freight Rate", yang diperkenalkan sementara pada 2020 untuk lebih dari 400 ribu pengemudi truk.
Dalam pemogokan kedua mereka dalam waktu kurang dari enam bulan, para pengemudi truk itu melawan hawa dingin yang pahit dan narasi pemerintah bahwa mereka adalah "bangsawan buruh" yang dibayar dengan baik. Pemerintahan Yoon tidak akan menyerah pada tuntutan serikat pekerja.
Pemerintah akan memperpanjang program saat ini selama tiga tahun lagi. Menteri Tenaga Kerja Lee Jung-sik, pada Senin mengatakan, aksi mogok nasional tidak akan memenangkan dukungan publik.
Aksi mogok nasional tersebut telah mengganggu rantai pasokan Korea Selatan, dan menelan biaya lebih dari 3,2 triliun won dalam pengiriman yang hilang selama 10 hari pertama. Kerugian diperkirakan akan meningkat di berbagai industri. Tetapi lalu lintas di pelabuhan sedikit meningkat menjadi 69 persen dari rata-rata sebelum pemogokan.