Jumat 09 Dec 2022 04:35 WIB

Kisah Mualaf: Saya Ingin Tahu Mengapa Muslim Bahagia

Abdur-Raheem Green memeluk Islam pada 1988.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Abdur-Raheem Green adalah seorang pendakwah. Orang Inggris kelahiran Tanzania itu memeluk Islam pada 1988. Kisah Mualaf: Saya Ingin Tahu Mengapa Muslim Bahagia
Foto:

1. Apa yang membuatmu tidak melanjutkan pendidikan?

Saya benar-benar kecewa dengan sistem pendidikan Inggris. Itu benar-benar Eurosentris dan memproyeksikan sejarah dunia dengan cara yang menunjukkan peradaban dapat mencapai kejayaan penuh dan puncaknya di Eropa.

Di Mesir, saya melihat beberapa reruntuhan megah yang hanya dapat diakses oleh para arkeolog. Saya menemukan interpretasi Barat tentang sejarah benar-benar keliru.

Saya memulai studi pribadi tentang sejarah orang lain di dunia, berbagai kitab suci dan filsafat. Saya berlatih agama Buddha selama hampir tiga tahun meskipun tidak pernah secara formal memeluknya.

Mempelajari Alquran langsung menarik minat saya. Pesannya memiliki daya tarik magis dan saya semakin yakin bahwa itu adalah wahyu ilahi. Saya percaya hanya Allah yang membimbing saya, tidak ada yang lain. Saya tidak tahu apa yang membuat saya pantas mendapatkan Islam.

2. Tapi adakah hal spesifik yang menarik bagi Anda?

Saya tidak puas dengan agama yang saya anut sejak usia delapan tahun. Konsep yang mereka ajarkan kepada kami melalui sajak, seperti Salam Maria, sama sekali tidak dapat saya terima.

Di satu sisi, orang-orang di agama saya terdahulu menggambarkan Tuhan itu kekal dan tak terbatas, namun mereka tidak merasa menyesal menganggap kelahiran Tuhan dari rahim Maria. Ini membuat saya berpikir Maria pasti lebih besar dari Tuhan.

Baca juga : Liga Arab dan OKI Kutuk Agresi Israel terhadap Rakyat Palestina

Kedua, konsep tentang trinitas membingungkan saya. Kemiripan seperti daun maple Kanada merupakan satu meskipun ada tiga bagian, tampaknya sama sekali tidak dapat diterapkan.

Kegentingan datang ketika seorang Mesir mulai menanyai saya. Terlepas dari kebingungan saya tentang kepercayaan itu, saya mencoba menjadi dogmatis seperti yang dilakukan kebanyakan orang kulit putih, kelas menengah, dan orang Inggris.

Saya bingung ketika dia berusaha membuat saya menerima bahwa Tuhan mati disalib, dengan demikian mengungkapkan kekosongan klaim tentang keabadian dan ketidakterbatasan Tuhan. Saya sekarang menyadari saya percaya pada konsep yang absurd seperti dua tambah dua sama dengan lima selama masa remaja saya. Saya menemukan orang Eropa banyak berjuang untuk menikmati hidup. Mereka tidak memiliki tujuan hidup yang lebih tinggi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement