REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (FSP RTMM) SPSI menolak adanya dorongan pihak asing yang turut campur dalam kebijakan pertembakauan di Indonesia.
Di mana, saat ini indikasi intervensi asing dalam penyusunan kebijakan soal tembakau disebut terpampang nyata.
“Aliran dana itu sudah banyak yang tahu. Tapi yang menyerang tembakau hanya memanfaatkan kucuran dana untuk kampanye tanpa memperhatikan kondisi pekerja. Bicara soal rokok kita harus lihat lebih dalam karena ada aspek pekerja,” ujar Ketua FSP RTMM, Sudarto, lewat keterangannya, Kamis (15/12/2022).
Hal itu dia, sampaikan menanggapi adanya gelaran 7th Asia Pacific Summit of Mayors yang diselenggarakan Asia Pacific City Alliance for Health and Development (APCAT) 1-3 Desember lalu. Di mana kegiatan itu hadir sejumlah lembaga asing.
Menurut dia, aliran dana yang dikucurkan lembaga internasional untuk mengatur kebijakan tembakau di Indonesia telah menjadi rahasia umum. "Kami sudah mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk menolak intervensi ini pada 2 Desember lalu," jelas Sudarto.
Sudarto menambahkan, secara hukum pekerja telah jelas dilindungi oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Apalagi, kata dia, industri hasil tembakau adalah industri yang legal. “Yang berkumpul dalam acara itu antara lain beberapa kepala daerah, mereka seharusnya bersikap netral dan paham bahwa lapangan kerja itu terbatas," terang dia.
"Mereka sendiri tidak bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja. Situasi ekonomi juga masih tidak pasti, ancaman resesi global dan PHK massal harus diperhitungkan,” tambah Sudarto.
Sudarto pun menjelaskan, soal pengendalian tembakau, hal itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 yang justru saat ini didorong untuk direvisi.
Padahal PP tersebut telah secara komprehensif mengatur soal pertembakauan. Dia yakin dorongan revisi PP itu juga turut ditunggangi lembaga-lembaga asing tanpa basis data dan fakta yang jelas.
“Kalau mau revisi, harusnya evaluasi terlebih dulu. Kalau implementasinya belum kuat, bukan berarti aturannya yang harus direvisi. Banyak aspek dalam PP ini, termasuk tenaga kerja. RTMM tidak antiregulasi, tapi harus dilihat situasinya,” jelas Sudarto.