Jumat 23 Dec 2022 20:13 WIB

Rektor UIII: Radikalisme dan Terorisme tak Mutlak Berbasis Agama

Perang Dunia I dan II atau konflik agama di dunia Barat, tak melibatkan agama Islam.

Red: Erik Purnama Putra
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komarudin Hidayat.
Foto: Dok Setneg
Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komarudin Hidayat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekacauan yang diakibatkan tindakan radikalisme maupun terorisme, oleh sebagian kalangan selalu dikaitkan dengan agama, khususnya Islam. Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komarudin Hidayat membantah pendapat yang mengaitkan Islam sebagai pemicu radikalisme dan terorisme.

Menurut dia, sejarah membuktikan, tanpa Islam dunia pernah kacau parah. Beberapa peristiwa dunia, seperti Perang Dunia I dan II atau konflik agama di dunia Barat lain, justru tidak melibatkan agama Islam.

Menurut dia, di tataran intelektual dan ilmuwan sudah diakui, tidak ada korelasi utama antara Islam dan terorisme. "Gerakan kelompok radikalisme-terorisme di berbagai negara juga semakin berkurang. Data menunjukkan, agama tidak berdiri sendiri dalam gerakan radikalisme-terorisme tersebut," ucapnya di webinar bertema 'Radikalisme: Adakah Akarnya di Indonesia?' yang digelar Moya Institute, Jakarta, Jumat (23/12/2022).

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti menjelaskan, radikalisme-terorisme muncul tidak selalu berakar agama, tetapi bisa juga berlandaskan ideologis dan politik lain. Kenyataan itu juga muncul di berbagai negara di dunia.

"Upaya mengaitkan agama dengan terorisme itu harus mulai dikoreksi. Hanya dalam konteks Indonesia ditengarai seakan ada skenario karena pada aksi-aksi tertentu, pasca aksi selalu ditemukan dokumen yang berkaitan dengan teologis, yang kemudian mengalihkan perhatian masyarakat dari isu penting lainnya," ujar guru besar UIN Syarif Hidayatullah tersebut.

Oleh sebab itu, Mu'ti mengimbau aparat agar penanganan tindakan radikalisme dan terorisme perlu diubah menjadi pendekatan semesta. Hal itu untuk mengajak partisipasi seluruh lapisan masyarakat dan sifatnya persuasif daripada pola penindakan militeristik.

Kebijakan itu demi mengubah persepsi masyarakat agar ikut terlibat pemberantasan terorisme. "Hal seperti itu membuat masyarakat jemu dan bersikap apatis terhadap kasus-kasus radikalisme-terorisme, seperti pada kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar (Kota Bandung). Tidak muncul rasa kepanikan yang dahsyat atas kasus tersebut," ujar Mu"ti.

Pemerhati isu strategi dan politik global, Imron Cotan menjelaskan, akibat penyerangan Twin Tower di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001, membentuk perspektif yang mengkaitkan Islam dengan gerakan radikalisme terorisme. "Terorisme itu sebenarnya tidak spesifik Islam, namun akibat peristiwa Twin Tower itu seolah-olah Islam saja yang dikaitkan dengan radikalisme-terorisme," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement