REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk menghapuskan skema power wheeling dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Menurutnya, skema tersebut dapat meliberalisasi sektor kelistrikan yang justru akan merugikan negara.
Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dengan skema ini, produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) bisa menjual listrik langsung ke masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan PLN.
"Saya dengan tegas menolak skema power wheeling masuk RUU EBT. Sebab, jika klausul tersebut diloloskan, ini sama dengan liberalisasi sektor kelistrikan yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, listrik merupakan kebutuhan dasar rakyat yang harusnya dikuasai oleh negara," ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (12/1/2023).
Tak hanya itu, dengan adanya skema tersebut, aset yang semestinya bisa dimaksimalkan oleh negara malah justru harus berbagi dengan swasta. Hal ini akan memberatkan PLN sebagai operator.
PLN merupakan BUMN yang selama ini lini bisnis utamanya adalah penjualan listrik dari investasi pembangunan infrastruktur. Dengan adanya skema tersebut, infrastruktur yang sudah dibangun oleh PLN memakai investasi internal maupun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) justru dinikmati oleh swasta.
"PLN juga akan kehilangan pasarnya karena swasta bisa langsung menjual listriknya ke masyarakat," ungkapnya.
Saat ini, tantangan PLN adalah mengatasi oversupply. Menurutnya, jika skema power wheeling diterapkan maka akan semakin memperlebar oversupply. Tak hanya kehilangan pangsa pasar, dampak dari oversupply itu, PLN harus membayar take or pay (TOP). Selama ini, TOP disubsidi oleh pemerintah.
Ini dinilai akan membuat beban APBN menjadi lebih besar. Dengan kehilangan pasar, maka pendapatan PLN akan berkurang yang berdampak pada penerimaan negara berupa dividen, setoran pajak, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Meski berhasil diterapkan di negara lain, saya menilai skema ini belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Saya melihat lebih banyak mudaratnya jika kebijakan ini diterapkan di Indonesia," ujar Syarief.