Ahad 22 Jan 2023 19:56 WIB

P2G Sayangkan Aksi Orang Tua Potong Rambut Guru

P2G mengimbau orang tua menjaga muruah guru

Rep: Haura Hafizah/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi guru.
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Ilustrasi guru.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menanggapi terkait orang tua siswa SD Negeri 13 Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, yang memotong paksa rambut guru bernama Ulan Hadji karena rambut anaknya dipotong. Menurutnya, aturan hukuman potong rambut siswa harus dihapus.

"Sekolah harus mereformulasi aturan mengenai atribut siswa dan tampilan rambut siswa. Asosiasi siswa rambut gondrong adalah anak nakal merupakan warisan cara pandang lama dari Orde Baru yang mesti ditinggalkan. Bahwa ciri premanisme dan anak laki-laki nakal adalah berambut gondrong," kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim pada Ahad (22/1/2023).

Kemudian, ia melanjutkan zaman dahulu rambut gondrong itu merupakan ciri premanisme dan anak laki-laki nakal. Padahal, hal itu belum tentu benar. Misalnya, sekolah seperti Pangudi Luhur tidak mempermasalahkan siswanya berambut gondrong.

"Dan prestasi siswanya tetap tinggi. Sepanjang anak-anak memahami tujuan dan peraturan sekolah secara umum," kata dia.

Ia menambahkan masyarakat khususnya orang tua siswa mesti memahami guru adalah profesi sangat terhormat yang dilindungi oleh Undang-Undang (UU). Sudah seharusnya orang tua menjaga kehormatan dan martabat guru.

Sebaliknya begitu pula siswa. Sebagai pendidik, guru semestinya memahami UU Perlindungan Anak, yang menekankan upaya edukatif dan menghargai keberadaan anak dengan segala hak-haknya sebagai anak.

Mendisiplinkan anak tidak bisa lagi dengan mempermalukan anak, hukuman fisik, kekerasan, makian dan teriakan. Jangan lagi mempermalukan anak di muka umum atau mencukur rambut mereka dengan asal-asalan sehingga mereka malu.

"Kami menyesalkan orang tua tidak menghargai martabat guru. Tapi kami juga menyayangkan hukuman mencukur rambut anak asal-asalan, masih berkembang di sekolah kita. Mendisiplinkan itu tujuannya bukan mempermalukan anak, melainkan pengembangan perilaku," kata dia.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri mendorong perlunya sosialisasi aturan sekolah kepada orang tua dan siswa secara intensif. Orang tua harus sering-sering berkomunikasi dengan guru dan wali kelas dalam membimbing dan mengawasi anak.

"Kejadian ini kan menjadi indikasi terhambatnya komunikasi antara guru, siswa dan orang tua," kata dia.

Ia mendorong harus dimulainya gerakan transformatif oleh sekolah. Seperti libatkan anak dan orang tua siswa dalam membuat aturan disiplin sekolah.

"Jangan lagi aturan hanya dibuat eksklusif oleh guru. Siswa dan orang tua pasif menerima saja. Harus ada kesepakatan bermakna. Jika itu dilakukan, maka akan terbentuk ekosistem sekolah yang demokratis, dialogis dan partisipatif," kata dia.

Tidak seperti sekarang, dimana aturan sekolah masih dirasakan semata-mata sebagai alat untuk menghukum siswa. Cara pandang pemberian sanksi bagi siswa, seperti yang berambut panjang tidak bisa lagi dengan cara-cara lama, yaitu rambut siswa dipotong dengan asal-asalan oleh guru.

Ia mengingatkan harus ada perubahan paradigma dalam mendisiplinkan siswa, dengan mengembangkan disiplin positif diantaranya. Disiplin positif adalah cara penerapan disiplin tanpa kekerasan dan ancaman yang dalam praktiknya melibatkan komunikasi tentang perilaku yang efektif antara orang tua dan anak.

"Dalam praktiknya anak diajarkan memahami konsekuensi perilaku mereka. Disiplin positif mengajarkan anak rasa tanggung jawab dan penghormatan dalam berinteraksi dengan lingkungan," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement