REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mengakselerasi digitalisasi sistem pembayaran untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi, salah satunya dengan menargetkan 45 juta pengguna QR Indonesian Standard (QRIS) pada 2023.
"Covid-19 dan sekarang itu mengajarkan kita bahwa negara yang tahan, kuncinya ada tiga yakni ketahanan energi, ketahanan pangan, dan ketahanan digital. Indonesia is one of the fast growing digital," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Starting Year Forum 2023 yang dipantau dalam jaringan di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
BI melanjutkan perluasan implementasi QRIS melalui strategi 45 juta pengguna dan satu miliar volume transaksi pada 2023 serta pengembangan fitur QRIS dan QRIS antarnegara. Untuk itu, perluasan kerja sama ASEAN-5 dalam konektivitas sistem pembayaran melalui QR, pembayaran cepat, transaksi mata uang lokal, juga menjadi fokus BI.
"QRIS dengan Thailand sudah nyambung, dengan Malaysia tahun ini jalan, uji coba dengan Singapura," tuturnya.
Selain itu, Perry menuturkan, peningkatan digitalisasi sistem pembayaran juga dilakukan dengan perluasan BI-FAST, SNAP, integrasi infrastruktur pembayaran dan reformasi regulasi. Bank sentral mendorong implementasi BI-FAST melalui perluasan kepesertaan BI-FAST baik melalui bank maupun Lembaga Selain Bank (LSB), kanal layanan serta implementasi layanan fase 1 tahap 2 berupa Bulk Credit, Direct Debit, dan Request For Payment.
"Kami akan coba konektivitas antara BI-FAST dengan GPN. Kami akan bicara dengan ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia). Dengan application programming itu bisa terkoneksi dan mulai tahun ini kami akan membangun RTGS generasi ketiga sehingga ke depan wholesale retail itu menjadi terhubung," tuturnya.
BI memproyeksikan pada 2023 nilai transaksi uang elektronik meningkat 23,90 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy) hingga mencapai Rp 495,2 triliun.
Di samping itu, BI melakukan koordinasi dengan pemerintah atau Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) untuk elektronifikasi bantuan sosial, transaksi keuangan pemerintah daerah, dan transportasi. BI juga melakukan pengembangan proyek Garuda Digital Rupiah yang meliputi desain konseptual, integrasi infrastruktur, dan teknologi. Proyek Garuda adalah proyek yang memayungi berbagai inisiatif eksplorasi atas berbagai pilihan desain arsitektur rupiah digital.
"Digitalisasi akan lebih kuat dan kita sedang membuat rupiah digital," ujarnya.
Gagasan pengembangan rupiah digital dilandasi oleh tiga penggerak utama, yakni kebutuhan Bank Indonesia sebagai otoritas tunggal dalam menerbitkan mata uang untuk menyikapi perkembangan digital di sektor ekonomi dan keuangan yang cepat. Langkah tersebut diperlukan untuk menjaga kedaulatan mata uang rupiah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada era digital.
Bank Indonesia juga perlu mengembangkan rupiah digital untuk memperkuat peranannya di kancah internasional karena rupiah digital akan menempatkan Indonesia dalam peta pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) global.
Pada 2022, transaksi ekonomi dan keuangan digital berkembang pesat ditopang oleh naiknya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja dalam jaringan, luasnya dan mudahnya sistem pembayaran digital, serta cepatnya digital banking.
Nilai transaksi uang elektronik pada 2022 mencapai Rp 399,6 triliun atau tumbuh 30,84 persen (yoy). Nilai transaksi digital banking pada 2022 meningkat 28,72 persen (yoy) menjadi Rp 52.545,8 triliun, dan diproyeksikan tumbuh 22,13 persen (yoy) mencapai Rp 64.175,1 triliun pada 2023.
Pada 2023, Bank Indonesia akan terus mendorong inovasi sistem pembayaran dan memastikan ketersediaan uang rupiah dengan kualitas yang terjaga di seluruh wilayah Indonesia, termasuk melalui perluasan untuk distribusi uang rupiah layak edar ke wilayah terluar, terdepan, dan terpencil (3T).