REPUBLIKA.CO.ID, LILONGWE -- Menteri Kesehatan Malawi Khumbize Chiponda mengatakan, lebih dari 1.000 orang meninggal dunia karena wabah kolera di negaranya. Angka kematian meningkat ketika jumlah kasus pun naik mencapai 30.621.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), data jumlah kematian akibat kolera di Malawi melampaui tonggak sejarah yang suram dan melampaui wabah terbesar yang tercatat. Pada 2001 dan 2002 silam tercatat 968 tewas dalam wabah kolera terburuk di negara tersebut.
Chiponda kemudian mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam menangani jenazah korban kolera sebelum pemakaman. "Orang yang sekarat karena kolera mungkin dimandikan oleh anggota keluarga yang kemudian menyiapkan pesta pemakaman. Wabah kolera biasanya mengikuti pesta ini,” kata Chiponda pada Rabu (25/1/2023) dikutip laman Aljazirah.
Dia juga meminta warga untuk menggunakan prosedur dekontaminasi yang tepat dengan klorin dan kantong plastik. Sebagian besar kematian dari wabah terjadi di dua kota utama Lilongwe dan Blantyre. Padahal baru saja wilayah itu kembali membuka sekolah untuk anak-anak setelah sekolah menunda pembukaan untuk mencoba menahan penyebaran.
Kolera secara teratur menyerang negara Afrika bagian selatan itu selama hujan dari November hingga Maret. Kematian biasanya mencapai sekitar 100. Tetapi ada lonjakan kontaminasi yang luar biasa tinggi selama dan setelah musim perayaan 2022.
Pada November 2022, Malawi menerima hampir tiga juta dosis vaksin kolera oral dari PBB untuk meningkatkan kampanye imunisasinya. Meski begitu jumlah kasus terus meningkat.
Juru bicara kementerian kesehatan Adrian Chikumbe mengatakan bahwa semua dosis telah digunakan. "Fakta bahwa hanya ada satu produsen vaksin kolera di seluruh dunia mempersulit untuk memperoleh obat penyelamat," kata dia.
Kolera menyebabkan diare dan muntah. Virus ini dapat tertular dari bakteri yang umumnya ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Direktur organisasi nirlaba Malawi Health Equity Network, George Jobe mengatakan bahwa mitos dan misinformasi yang menyebar secara online memperburuk situasi yang sudah mengerikan. "Kebanyakan orang tidak percaya kita mengidap kolera. Selain itu, beberapa agama tidak mengizinkan anggotanya yang [sakit] pergi ke rumah sakit," kata Jobe.
Pada September tahun lalu, WHO memperingatkan bahwa setelah bertahun-tahun mengalami penurunan, dunia bakal menyaksikan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam wabah kolera. Perubahan iklim menambah pemicu tradisional seperti kemiskinan dan konflik.
Penyakit ini menyerang antara 1,3 juta hingga empat juta orang di seluruh dunia setiap tahun dan menyebabkan 143 ribu kematian.