Selasa 07 Feb 2023 18:54 WIB

Pengusaha Akui Minyakita Langka karena Tak Diproduksi

Pengusaha mengakui Minyakita tidak diproduksi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pedagang minyak goreng melayani pembeli di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Senin (30/1/2023). Pengusaha mengakui penyebab kelangkaan minyak goreng kemasan murah, Minyakita memang karena tidak diproduksi.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pedagang minyak goreng melayani pembeli di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Senin (30/1/2023). Pengusaha mengakui penyebab kelangkaan minyak goreng kemasan murah, Minyakita memang karena tidak diproduksi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha mengakui penyebab kelangkaan minyak goreng kemasan murah, Minyakita memang karena tidak diproduksi. Ada sejumlah persoalan yang dihadapi produsen minyak goreng sehingga proses produksi terhambat.

Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga menuturkan, penyebab utama terganggunya produksi Minyakita, termasuk minyak goreng curah karena ekspor yang terhambat. DMSI mencatat sejak periode November 2022 hingga Januari 2023 ada 6,17 juta ton hak ekspor minyak sawit yang belum terealisasi. Itu lantaran adanya resesi ekonomi yang menurunkan permintaan terhadap minyak sawit dunia. Industri di Indonesia lantas terdampak.

Baca Juga

Sementara, tutur Sahat, untuk memproduksi Minyakita dan minyak goreng curah dengan harga di tingkat konsumen sebesar Rp 14 ribu per liter, pengusaha harus mengeluarkan dana talangan karena produsen jual rugi. "Pengusaha itu nombok untuk Minyakita, dari mana dana nombok ini? Yaitu dari keuntungan ekspor. Jadi, mereka tidak produksi itu karena tidak ada cuan (dari ekspor) untuk tutupi kerugian," kata Sahat dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/2/2023).

Lebih lanjut, ia menuturkan, biaya talangan yang dikeluarkan pelaku usaha untuk memproduksi Minyakita sekitar Rp 4.041 per liter sedangkan minyak goreng curah kisaran Rp 2.641 per liter.

Oleh sebab itu, Sahat menegaskan, pemerintah agar tidak menghambat kegiatan ekspor sehingga pengusaha memiliki keuntungan yang bisa digunakan menambal kerugian tersebut. Di satu sisi, pihaknya kembali meminta agar tugas pendistribusian minyak goreng hasil DMO tidak diserahkan kepada pelaku usaha swasta. Ia menyarankan agar Bulog sebagai BUMN dapat ditugaskan karena sudah memiliki jaringan logistik yang luas.

Seperti diketahui, lewat kebijakan domestic market obligation (DMO) pelaku usaha akan mendapatkan kuota ekspor. Saat ini kebijakan yang berlaku yakni dengan sistem rasio 1:6. Sebagai contoh, jika produsen menyuplai minyak goreng DMO sebanyak 1.000 ton akan mendapatkan hak ekspor 6.000 ton dan begitu seterusnya. Namun, lantaran kegiatan ekspor yang terhambat, suplai untuk DMO alhasil seret dan berdampak pada kelangkaan Minyakita yang kini dirasakan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement