REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait kembali munculnya dua kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Termasuk meminta BPOM untuk mengimbau perusahaan obat untuk melakukan penarikan sukarela atau voluntary withdrawal.
"Kita sudah berkoordinasi dengan BPOM untuk mengimbau perusahaannya akan melakukan voluntary withdrawal. Kedua, kita juga sudah mengimbau kepada IDAI agar meresepkan obat-obat yang berisiko lebih rendah," ujar Budi usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Rabu (8/2).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri pihaknya masih menunggu hasil penelitian antara laboratorium BPOM dengan pembandingnya terkait ditemukannya dua kasus GGAPA. Sehingga, pihaknya belum dapat menetapkan kejadian luar biasa (KLB) terhadap penyakit tersebut.
"Ini yang kejadian kan satu dan masih perlu ditentukan lagi penyebabnya itu apa, karena ada perbedaan hasil dari dua laboratorium ini. Nah itu yang sekarang kita tunggu aja," ujar Budi.
Ia sendiri melihat ada keterlambatan perujukan terhadap satu anak yang masuk dalam kategori GGAPA. Karenanya, anak tersebut terlambat ditangani dengan obat yang tepat, yakni fomepizole.
"Ini sebenarnya agak telat, kita kan sudah tahu obatnya, ketemunya lebih dini harusnya bisa diobati, tapi karena prosesnya rujukannya terlampau lama, berjenjang naik, itu mengakibatkan agak terlambat. Kalau kita tahunya cepet itu kan bisa sebenernya tahu," ujar Budi.
Kemenkes telah mengimbau semua dokter anak untuk segera merujuk pasien ke rumah sakit rujukan jika ditemukan gejala GGAPA. Imbauan tersebut sudah disampaikannya kepada Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
"Khusus untuk temen-temen dokter, mereka juga sudah kita minta agar bener-bener memastikan kalau ada gejala-gejala seperti yang dulu itu segera dirujuk aja, dirujuk langsung aja ke rumah sakit rujukan yang ditunjuk," ujar Budi.
Pakar keamanan dan ketahanan kesehatan global Griffith University Australia, Dicky Budiman menyatakan, temuan kasus baru gagal ginjal akut menjadi bukti lemahnya deteksi dini kesehatan. Menurut dia, ini alasan klasik dari dulu yang tidak pernah diperbaiki.
Dicky mengatakan, deteksi yang lemah berpotensi memicu temuan kasus baru lain yang serupa ataupun serupa dalam bentuk yang tidak sama sesuai dengan logika ilmiah. Terlebih kasus gagal ginjal akut berbicara terkait obat yang diedarkan secara bebas pada masyarakat.
Dengan adanya deteksi yang lemah, setiap kasus tidak bisa termonitoring dengan baik. Dia menilai hal tersebut sangat berbahaya, sebab satu kasus yang ditemukan bisa menggambarkan seperti apa fenomena gunung es yang sebenarnya ada dalam masyarakat.
Seharusnya, kata dia, kembali ditemukannya kasus gagal ginjal akut pada anak dijadikan sebagai pembelajaran berharga sekaligus momentum memperbaiki regulasi kesehatan yang masih lemah. Hal ini sangat penting dilakukan sebagai bentuk kepedulian pemerintah atas kualitas kesehatan masyarakat.