REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menilai, mafia beras pantas dijerat hukuman yang setimpal dengan upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara atau subversi. Karena menurutnya, mafia beras mengancam stabilisasi dan keamanan negara.
"Saya bilang kalau untuk kepentingan negara itu bisa kena UU Subversi, kalau saya ya, tapi nanti tergantung pendalamannya karena masalah kehidupan, berbahaya untuk stabilisasi dan keamanan negara," ujar Budi Waseso kepada media di Gedung Bulog Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Dirut Bulog yang akrab disapa Buwas itu menilai, hukuman yang menjerat para mafia beras seperti yang baru saja diungkap oleh Satgas Pangan Polda Banten, terlalu ringan. Sebanyak 7 orang tersangka yang melakukan penyimpangan distribusi 350 ton beras untuk dijual dengan harga lebih mahal di tengah stok beras yang terbatas hanya dijerat Pasal 62 Ayat (1) Jo Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar dan Pasal 382 bis KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 dan atau Pasal 56 KUHP dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.
"Kalau menurut saya perlu (dihukum lebih berat)," tegasnya.
Upaya penyelewengan distribusi beras tersebut terjadi di tengah upaya pemerintah melalui Bulog untuk melakukan stabilisasi harga dan stok pangan. Pemerintah terpaksa mengimpor 500 ribu ton beras guna mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri jelang panen raya yang baru akan terjadi pada akhir Februari atau awal Maret 2023.
Namun, para mafia beras dengan sengaja melakukan berbagai modus demi keuntungan pribadi. Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Didik Hariyanto dalam konferensi pers di Polda Banten, Jumat, menyampaikan modus yang dilakukan mafia beras adalah repacking beras Bulog menjadi beras premium dengan berbagai merek, mengoplos beras Bulog dan beras lokal, menjual beras diatas harga HET, memanipulasi delivery order dari distributor maupun mitra Bulog, lalu masuk ke tempat penggilingan padi seolah-olah merek sendiri serta monopoli sistem dagang.
Adapun Orde Lama pernah memberlakukan UU Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang kemudian tetap diberlakukan Orde Baru. Namun, UU Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi baru dicabut pada 1999, sejalan pemberlakuan UU Nomor 26/1999 Tentang Pencabutan UU Nomor 11/PNPS/1963. Alasan mendasar adalah menciptakan ketidakpastian hukum dan berlawanan dengan HAM.