REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menjelaskan, ada empat materi yang akan diubah dalam revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun undang-undang tersebut sudah direvisi sebanyak tiga kali dan terakhir disahkan pada September 2020.
Menurutnya, banyak hak yang harus diselesaikan oleh politik hukum Indonesia terhadap MK. Salah satu yang dipertanyakannya adalah kewenangan MK menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
"Contoh, MK tuh boleh tidak sih menguji materi Perppu? Itu pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab secara hukum ketatanegaraan, secara konstitusi. Kenapa? Kewenangan MK itu adalah mengadili, memeriksa, memutus, norma yang ada di UU dengan parameter norma yang ada di UUD," ujar Arsul di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Jelasnya, tidak ada yang menyebut bahwa MK boleh menguji sebuah perppu. Seharusnya perppu tersebut disahkan terlebih dahulu menjadi undang-undang, baru kemudian undang-undang tersebut digugat atau judicial review (JR).
"Ketika kemudian MK itu juga mengadili Perppu, itu kan sama saja MK ambil alih kewenangan DPR, gitu loh. Karena ya meskipun belum pernah terjadi, dia bisa memutus lebih cepat dari DPR, kalau mau. DPR kan bisa sampe satu kali masa sidang, dia bisa lebih cepat," ujar Arsul.
Di samping itu, jika membaca risalah pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, maka MK itu tidak didesain untuk menguji kewenangan formil. Desain MK untuk menguji kewenangan materiil antara undang-undang dengan UUD 1945.
"Kewenangan uji materi, bukan uji formil, gitu. Nah, tapi faktanya kan kita sudah menyaksikan MK create kewenangannya sendiri untuk melakukan uji formil, ini harus kita selesaikan," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Diketahui, Komisi III DPR mengusulkan revisi UU MK yang sudah dilakukan perubahan sebanyak tiga kali. Revisi terakhir terjadi pada 2020 dan sudah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Selasa (1/9/2020).
Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mewakili komisi hukum tersebut menjelaskan, ada empat alasan pihaknya kembali mengusulkan revisi UU MK. Pertama adalah persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi.
"(Dua) evaluasi hakim konstitusi. Tiga, unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi. Empat, penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman dalam rapat kerja dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Rabu (15/2/2023).
Dalam perkembangannya, beberapa ketentuan UU MK diubah sebanyak tiga kali. Usulan terbaru Komisi III akan menjadi revisi keempat, karena UU MK saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," ujar Habiburokhman.
"Serta menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," sambung politikus Partai Gerindra itu.