REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan suara bulat pada Senin (20/2/2023) mengecam rencana Israel untuk memperluas pembangunan permukiman di Tepi Barat yang diduduki, yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Pernyataan panjang, yang dibacakan dengan lantang di ruang dewan mengungkapkan keprihatinan mendalam dan kekecewaan atas pengumuman Israel pada 12 Februari 2023 mengenai pembangunan lebih lanjut dan perluasan permukiman serta legitimasi pos-pos permukiman.
"Dewan Keamanan menegaskan kembali bahwa melanjutkan kegiatan permukiman Israel membahayakan keberlanjutan solusi dua negara berdasarkan garis batas 1967," kata Utusan Malta untuk PBB Vanessa Frazier, yang menjabat sebagai presiden dewan untuk bulan Februari.
Lebih lanjut, DK PBB sangat menggarisbawahi perlunya semua pihak untuk memenuhi kewajiban dan komitmen internasional mereka, serta menentang semua tindakan sepihak yang menghalangi perdamaian, termasuk, antara lain, pembangunan dan perluasan permukiman Israel.
Dewan pun menentang penyitaan tanah warga Palestina dan legalisasi pos-pos permukiman, penghancuran rumah-rumah warga Palestina, dan pemindahan warga sipil Palestina.
Melalui pernyataan tersebut, DK mengutuk semua tindakan kekerasan terhadap warga sipil, termasuk yang menargetkan warga Palestina dan Israel, dan menyerukan semua pihak untuk mengupayakan ketenangan dan menahan diri dari tindakan provokatif dan hasutan yang bisa memicu eskalasi situasi di lapangan.
Pemerintah Israel pada 13 Februari 2023 bergerak untuk membangun 10.000 rumah permukiman baru di Tepi Barat, dan melegalkan sembilan pos terdepan pemukim yang sebelumnya ilegal menurut hukum Israel.
Pengumuman itu menuai reaksi keras internasional, termasuk dari Palestina, yang telah berusaha mengadakan pemungutan suara di DK PBB untuk mengutuk perluasan tersebut. Ramallah dilaporkan setuju untuk menangguhkan upaya itu selama akhir pekan setelah dewan setuju untuk mengeluarkan pernyataan terkait tindakan Israel.
Utusan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk perdamaian Israel-Palestina, Tor Wennesland, mengatakan kepada dewan bahwa komunitas internasional menyaksikan lonjakan kekerasan termasuk beberapa insiden paling mematikan dalam dua dekade terakhir sementara tindakan sepihak semakin memisahkan kedua pihak, memperburuk ketegangan, dan mendorong konflik.
"Upaya segera diperlukan untuk mengurangi ketegangan. Tetapi memulihkan ketenangan bukanlah resep untuk kemajuan dengan sendirinya," kata dia.
Wennesland mengatakan sejumlah besar warga Palestina tewas dalam serangan Israel di Tepi Barat dan bentrokan lainnya selama sebulan terakhir. Terdapat pula dokumentasi serangan di mana warga sipil Israel tewas dalam serangan teroris.
"Eskalasi kekerasan saat ini sangat mengkhawatirkan. Tidak akan pernah ada alasan untuk tindakan terorisme. Upaya menargetkan warga sipil harus jelas dikutuk dan ditolak oleh semua pihak. Perayaan dan pujian atas serangan semacam itu menjijikkan, dan harus dikutuk dengan tegas," tutur Wennesland.
Di luar Israel dan wilayah pendudukan, badan PBB yang bertanggung jawab untuk pengungsi Palestina memperingatkan kondisi yang memburuk yang dihadapi mereka yang melarikan diri dari konflik atau dipaksa meninggalkan tanah air mereka di tengah krisis yang meningkat.
"Semakin banyak pengungsi Palestina di wilayah tersebut berada di ambang keputusasaan," kata Wakil Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Leni Stenseth.
Dia mengatakan bahwa berbagai krisis, konflik, pendudukan yang tidak pernah berakhir, konsekuensi sosial-ekonomi akibat pandemi COVID-19, dan kenaikan harga pangan dan bahan bakar global yang disebabkan oleh konflik di Ukraina telah mendorong semakin banyak pengungsi Palestina ke dalam kemiskinan.
"Tahun ini telah tercatat rekor jumlah kematian tertinggi di kalangan warga Palestina, termasuk para pengungsi Palestina," ujar dia.
Sementara itu, korban di antara warga Israel juga sangat memprihatinkan. "Kami hampir dapat mengantisipasi bahwa minggu-minggu mendatang kemungkinan akan membawa lebih banyak kekerasan, kematian, dan cedera yang mengubah hidup, termasuk untuk pengamat dan anak-anak di Tepi Barat," kata Stenseth.