REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim meyakini jumlah kerugian negara dalam kasus korupsi Helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara tahun anggaran 2016 lebih sedikit dari yang dituntut oleh Jaksa KPK. Apalagi barang yang dipermasalahkan ternyata benar-benar dibeli atau bukan fiktif.
Hal tersebut terungkap dalam pembacaan vonis terhadap Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway sebagai terdakwa tunggal di kasus heli AW-101 di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (22/2/2023).
Mulanya, Majelis Hakim sependapat dengan jumlah kerugian negara yang dihitung oleh Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK sebesar Rp 738,9 miliar. Perhitungan dengan nomor surat LHA-AF-05/DNA/08/2022 itu tertanggal 31 Agustus 2022.
"Tapi bukan total loss dikarenakan faktanya helikopter angkut AW 101 benar adanya dan memiliki nilai materiil, namun belum dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pengadaannya," kata hakim ketua Djuyamto dalam persidangan tersebut.
Majelis Hakim menilai bahwa Helikopter AW 101 telah diterima oleh TNI AU dan terdakftar dalam Barak Milik Negara (BMN) dengan nilai Rp 550.563.910.814. Lalu terdapat kelebihan pembayaran yang telah disetorkan kepada negara oleh Irfan pada 7 November 2019 sebesar Rp 31.689.290.000 sesuaai rekomendasi BPK.
"Di samping itu ada nilai pembayaran termin III dan IV sebesar Rp 139.424.620.909 yang masih berada di rekening lintas tahun atas nama PT Diratama Jaya Mandiri yang diblokir penyidik KPK yang dapat diperhitungkan sebagai pengembalian kerugian keuangan negara," ujar Djuyamto.
Oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat kerugian keuangan negara pengadaan helikopter angkut AW 101 TNI AU sebesar Rp 738,9 miliar memang terbukti. Tetapi, Majelis Hakim turut memperhitungkan nilai materiil helikopter AW-101, kelebihan pembayaran yang disetorkan oleh Irfan dan pembayaran termin III dan IV yang masih berada di rekening lintas tahun atas nama PT DJM yang saat ini diblokir penyidik KPK.
"Maka sisa kerugian negara menjadi sebesar Rp 738,9 miliar dikurangi Rp 550.563.910.804 dikurangi Rp 31.689.290.000 dikurangi Rp 139.424.620.909 sehingga terdapat jumlah 17.222.178.271. Maka terdapat 17.222.178.271 sebagai jumlah yang harus dikenakan sebagai (uang) pengganti kepada diri terdakwa," ucap Djuyamto.
Selain itu, Majelis Hakim turut mempertimbangkan sejumlah hal dalam menjatuhkan vonis terhadap Irfan. Perbuatan Irfan yang bertentangan dengan upaya negara atau pemerintah dalam pemberantasan korupsi jadi hal yang memberatkan.
"Untuk hal meringankan, terdakwa bersikap sopan sepanjang persidangan, belum pernah dipidana dan masih punya tanggungan keluarga," ujar Djuyamto.
Diketahui, John Irfan Kenway divonis hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar dalam perkara ini. Irfan juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp17,22 miliar.
Vonis terhadap John Irfan Kenway lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu pidana penjara selama 15 tahun. Vonis uang pengganti juga jauh lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yaitu Rp 177 miliar.
John Irfan Kenway divonis melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.