Kamis 23 Feb 2023 19:34 WIB

Eks Caleg PDIP di MK: Johan Budi tanpa Uang Kalahkan Budiman Sudjatmiko

M Sholeh membantah gugatan PDIP bahwa sistem proporsional terbuka berbiaya tinggi.

Rep: Febryan A/ Red: Erik Purnama Putra
Petugas keamanan berjaga di halaman gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022).
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas keamanan berjaga di halaman gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan calon anggota legislatif (caleg) PDIP, M Sholeh, hadir sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi sistem pemilihan legislatif (pileg) proporsional terbuka di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (23/2/2023). Sholeh menerangkan sekaligus membantah anggapan penggugat, sistem proporsional terbuka membuat caleg harus mengeluarkan biaya besar untuk menang.

Sholeh menyebut, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa banyak caleg yang tidak punya modal besar, tapi berhasil menang. Hal itu banyak ditemukan bahkan pada caleg PDIP. Salah satu contohnya adalah anggota DPR periode 2019-2024, Johan Budi.

"Caleg PDIP yang namanya Johan Budi, mantan komisioner KPK, uang dari mana dia? Nyatanya dia bisa terpilih mengalahkan incumbent, Budiman Sudjatmiko," ungkap Sholeh di hadapan majelis hakim MK.

Pernyataan Sholeh tersebut merujuk pada hasil Pileg 2019 di daerah pemilihan VII Jawa Timur. Ketika itu, Johan Budi Sapto Pribowo meraih 75.395 suara, sehingga dinyatakan lolos ke Senayan. Adapun Budiman yang merupakan caleg pejawat PDIP dan penghuni Senayan periode 2014-2019, kalah karena hanya meraih 48.806 suara.

Menurut Sholeh, Johan Budi bisa menyingkirkan Budiman bukan karena punya modal uang besar. Johan menang, kata pengacara terkenal di Kota Surabaya tersebut, terjadi lantaran memiliki modal sosial tinggi dan mau turun ke masyarakat sehingga meraih suara lebih besar.

Dalam kesempatan itu, Sholeh juga menyoroti dalil penggugat bahwa sistem proporsional terbuka membuat caleg dalam satu partai bertarung memperebutkan suara di dapil yang sama. Baginya, persaingan itu bukanlah sebuah masalah. "Perang terbuka menurut pihak terkait adalah sesuatu yang baik. Justru karena mereka perang, maka mereka berlomba-lomba mendekatkan diri kepada masyarakat," kata Sholeh.

Persaingan semacam itu, lanjut Sholeh, tidak ada dalam sistem proporsional tertutup. Pasalnya, hanya caleg dengan nomor urut teratas saja yang mau turun ke masyarakat demi meraup suara. Sedangkan caleg dengan nomor urut besar tidak mau turun karena peluang menangnya tipis.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos parpol. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut caleg yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999.

Saat Pemilu 2004, mulai diterapkan sistem proporsional semiterbuka. Pada 2008, Sholeh mengajukan gugatan uji materi atas sistem proporsional semiterbuka itu. Hasilnya, MK mengabulkan gugatannya sehingga sistem proporsional terbuka penuh digunakan mulai Pemilu 2009.

Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg yang diinginkan ataupun parpolnya. Caleg yang mendapat suara terbanyak bakal memenangkan kursi anggota dewan. Sistem tersebut dipakai hingga Pemilu 2019.

Sistem proporsional terbuka sebenarnya bakal digunakan kembali dalam Pemilu 2024. Namun, enam warga negara perseorangan, salah satunya kader PDIP pada akhir 2022, mengajukan gugatan uji materi atas Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka.

Para penggugat meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Kini, MK masih mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak terkait sebelum membuat keputusan atas perkara ini.

Sementara sidang bergulir, partai politik terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan parpol parlemen, mulai Golkar, Nasdem, Demokrat, Gerindra, PKB, PAN, PKS, PPP, hingga PKS. Sedangkan pendukung sistem proporsional tertutup hanya PDIP.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement