REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, pihaknya akan mengakselerasi konsolidasi industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR)/Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) untuk memperkuat ketahanan dan perluasan usaha bank tersebut.
"Dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan industri BPR/BPRS yang baik, total aset, kredit, dan DPK (dana pihak ketiga) di tengah proses konsolidasi yang tengah berjalan, OJK akan mengakselerasi proses konsolidasi industri BPR/BPRS melalui enam strategi," kata Dian dalam seminar virtual yang dipantau di Jakarta, Kamis (24/2/2023).
Berdasarkan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan (UU P2SK), bank perkreditan rakyat (BPR) berubah nama menjadi bank perekonomian rakyat. Dalam seminar bertajuk Peran BPR Pasca UU P2SK untuk Memperkuat Perekonomian Nasional, Dian menuturkan enam strategi tersebut adalah mendorong penggabungan usaha BPR/BPRS dengan kepemilikan yang sama, membentuk holding group bagi BPR/BPRS dengan kepemilikan yang sama, dan mendorong pembentukan anchor bank bagi BPR/BPRS milik pemerintah daerah.
Strategi berikutnya adalah memberikan perintah penggabungan usaha bagi BPR/BPRS yang tidak mampu menjaga kelangsungan usaha, mendorong likuidasi sendiri (self liquidation) bagi BPR/BPRS yang pemiliknya tidak memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengembangkan BPR. Selanjutnya, OJK menerapkan kebijakan exit policy terhadap BPR/BPRS yang memiliki kinerja buruk dan tidak memberikan kontribusi terhadap perekonomian khususnya di daerah.
Enam strategi akselerasi konsolidasi industri BPR/BPRS tersebut bertujuan untuk mempersiapkan industri BPR/BPRS dalam menyambut perluasan kegiatan usaha sebagaimana diamanatkan dalam UU P2SK.
"Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan ini lahir untuk mendukung dan mewujudkan upaya pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia melalui penguatan kerangka pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa Keuangan termasuk tentu saja BPR di dalamnya," ujarnya.
Per Desember 2022 jumlah BPR/BPRS se-Indonesia tercatat sebanyak 1.608 BPR/BPRS yang mengalami tren penurunan jumlah sejak 2015 yang tercatat sebanyak 1.800 BPR/BPRS. Penurunan 192 BPR/BPRS tersebut dipengaruhi oleh proses konsolidasi, pencabutan izin usaha, dan likuidasi sendiri.
Pada Desember 2022, total aset industri BPR/BPRS menunjukkan kinerja positif dengan tumbuh 9,14 persen menjadi Rp 202,46 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 185,50 triliun. Pertumbuhan total aset BPR ditopang oleh DPK yang tumbuh sebesar 9,17 persen secara year on year. Sementara penyaluran dana kredit BPR/BPRS tumbuh 11,81 persen dan telah melebihi tingkat pertumbuhan prapandemi Covid-19 yang tercatat sebesar 10,85 persen.
Pada sisi lain, secara agregat ketahanan permodalan industri BPR/BPRS dalam kondisi memadai di tengah eksposur risiko yang masih tetap manageable. Marketshare industri BPR didominasi oleh 95 BPR/BPRS dengan modal inti di atas Rp50 miliar dengan total aset agregat mencapai 42,08 persen dari total aset industri BPR/BPRS. BPR dengan total aset tertinggi telah mencapai Rp 10,14 triliun.