Sabtu 25 Feb 2023 20:11 WIB

1.400 Warga Filipina Gelar Unjuk Rasa Peringati Revolusi 1986

Jutaan warga Filipina turun ke jalan pada Februari 1986.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Seorang pekerja pemerintah Filipina menunjukkan sebuah bendera Filipina. Sekitar 1.400 warga Filipina menggelar unjuk rasa untuk memperingati revolusi 1986, Sabtu (25/2/2023).
Foto: EPA-EFE / FRANCIS R. MALASIG
Seorang pekerja pemerintah Filipina menunjukkan sebuah bendera Filipina. Sekitar 1.400 warga Filipina menggelar unjuk rasa untuk memperingati revolusi 1986, Sabtu (25/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA – Sekitar 1.400 warga Filipina menggelar unjuk rasa untuk memperingati revolusi 1986, Sabtu (25/2/2023). Dalam revolusi tersebut, ayah presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr, yakni Ferdinand Marcos, digulingkan oleh rakyat.

Para pengungujuk rasa berkumpul di sepanjang jalan raya utama Epifanio de los Santos Avenue (EDSA) di metropolitan Manila. Dalam aksinya mereka mengusung poster dan papan bertuliskan 'Jangan pernah lupakan'. Marcos Jr mengomentari aksi tersebut lewat unggahan di akun Facebook-nya.

Marcos Jr menyerukan rekonsiliasi tanpa menyebut revolusi 1986 sebagai tonggak demokrasi Filipina. “Saya sekali lagi menawarkan tangan rekonsiliasi saya kepada mereka yang memiliki persuasi politik yang berbeda untuk bersatu dalam membentuk masyarakat yang lebih baik, yang akan mengejar kemajuan dan perdamaian serta kehidupan lebih baik untuk semua warga Filipina,” katanya dalam pernyataan dua paragraph di akun Facebook-nya.

Renato Reyes dari aliansi sayap kiri Bayan mengatakan tawaran Marcos Jr adalah suara yang bagus. Namun menurutnya, hal itu tidak memiliki ketulusan dan substansi mengingat penolakan Marcos Jr untuk mengakui pelanggaran di bawah pemerintahan ayahnya.

Jutaan warga Filipina turun ke jalan pada Februari 1986. Mereka berusaha melindungi pejabat tinggi militer dan pertahanan yang membelot dari pemerintahan Marcos.

Kala itu, Marcos, yang tengah sakit, dibawa bersama keluarga dan kroninya ke pengasingan di Amerika Serikat (AS). Marcos diketahui sempat memberlakukan darurat militer pada 1972 hingga 1981.

Pemberontakan menjadi pertanda perubahan rezim otoriter. Namun dalam hampir empat dekade sejak itu, kemiskinan, ketidaksetaraan yang mencolok antara si kaya dan si miskin serta kegagalan untuk mengatasi kesalahan masa lalu tetap mengakar kuat. Hal itu mengipasi perpecahan politik dan sosial.

Keluarga Marcos kembali ke Filipina pada 1991. Mereka secara bertahap mendapatkan kembali kekuasaan politik meskipun terjadi penjarahan dan kekejaman hak asasi manusia yang meluas empat dekade lalu. Pada Mei tahun lalu, putra Marcos, yakni Marcos Jr. memenangkan pemilihan presiden dengan kemenangan telak.

“Ini mengejutkan di satu sisi, bukan? Bagaimana ini bisa terjadi? Anda ingat mereka yang mengorbankan hidup mereka dan Anda merasa sangat sedih untuk mereka yang disiksa, mereka yang kehilangan orang yang dicintai,” kata Judy Taguiwalo, mantan tahanan politik dan penyintas penyiksaan, kepada The Associated Press.

Sekarang berusia 73 tahun dan sakit-sakitan, Taguiwalo mengatakan generasi aktivisnya yang melawan kediktatoran perlahan memudar. Namun dia tetap menentang.

“Ada generasi pejuang baru. Tirani dapat kembali tetapi tidak ada selamanya dalam tirani selama kita tidak berhenti melawan bahkan jika itu adalah perjuangan berat atau kita teralihkan oleh disinformasi,” ujarnya. 

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement