Senin 27 Feb 2023 15:27 WIB

Cacat Logika Kasus Rasuah Heli AW-101: Penyuap Divonis Penjara, Penerima Suap tak Dipidana

Kasus korupsi pengadaan Heli AW-101 TNI AU hanya menjerat pihak swasta.

Terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway. Dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (22/2/2023), Jhon divonis hukuman 10 tahun penjara. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Terdakwa kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway. Dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (22/2/2023), Jhon divonis hukuman 10 tahun penjara. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Flori Sidebang

Vonis kasus pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara disorot IM57+ Institute. Kasus tersebut terbilang janggal karena hanya pemberi suap yang diganjar hukuman pidana. 

Baca Juga

IM57+ Institute sulit memercayai kasus heli AW-101 hanya terbukti dilakukan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) John Irfan Kenway. Padahal kalau Irfan berstatus pemberi suap, maka semestinya ada penerima suap yang dihukum. 

"Tidak mungkin korupsi dilakukan secara individu dan hanya oleh swasta. Dan lebih tidak memenuhi logika hukum lagi kalau suatu perkara tindak pidana korupsi, ada pemberi namun tidak ada penerima," kata Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha kepada Republika, Senin (27/2/2023). 

Merujuk kasus ini, IM57+ Institute memandang seharusnya pemberi suap tidak bisa dihukum. Sebab, terjadi cacat formil penerapan delik pasal 5 UU Tipikor lantaran tak ada penerima suap. 

"Unsur memberikan sesuatu kepada Penyelenggara Negara tidak terpenuhi karena tidak ada penerimanya," ujar eks pegawai KPK tersebut. 

Oleh karena itu, IM57+ Institute mendorong pengembangan lebih lanjut dari sisi Penyelenggara Negara di kasus heli AW-101. Terlebih hakim telah menyebutkan bahwa terdapat tindakan yang dilakukan bersama-sama, termasuk dengan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Agus Supriatna. 

"Tidak boleh ada yang kebal hukum," ujar Praswad. 

Sepanjang sidang kasus heli AW-101, Agus Supriatna memang tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Agus punya banyak alasan untuk menjadi dalih ketidakhadirannya di persidangan. 

"Sikap tidak kooperatif dari mantan KSAU yang tidak bersedia hadir sebagai saksi dalam proses penegakan hukum menjadi preseden buruk ke depan," ucap Praswad. 

Khusus untuk Agus, KPK mengaku sebenarnya sudah mengirim panggilan kepada tim kuasa hukumnya tapi ditolak. Sedangkan saksi Kepala Dinas Aeronautika TNI AU (Kadis Aero AU) Ignatius Tryandono sudah meninggal. 

"Terkait saksi Agus Supriatna sudah berkomunikasi dengan Diskum (Dinas Hukum) TNI AU dan belum dapat informasi dari diskum TNI AU terkait posisi yang bersangkutan, kemudian Supriyanto Basuki sama dengan Agus Supriatna (tidak ada kabar)," kata jaksa Arief Soeharyanto dalam persidangan pada Desember 2022 lalu. 

Padahal dalam pembacaan pertimbangan vonis untuk John Irfan Kenway,  mantan KSAU Agus Supriatna disebut pernah melanggar instruksi eks Panglima TNI Gatot Nurmantyo agar membatalkan pembelian helikopter AW-101. Agus disebut memaksakan pembelian produk agusta westland itu. 

"Bahwa setelah dilakukannya penandatanganan kontrak Pengadaan Helikopter Angkut AW-101 antara TNI AU dengan PT Diratama Jaya Mandiri, pada tanggal 14 September 2016 Panglima TNI mengirimkan surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dengan Nomor: B/4091/IX/2016 perihal pembatalan kontrak terkait pengadaan helikopter angkut AW-101 yang menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pengadaan helikopter angkut AW-101 yang dilakukan Mabes TNI AU melalui Kontrak Nomor: KJB/300/1192/DA/RM/2016/AU tanggal 29 Juli 2016 bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Pengadaan serta arahan Presiden RI sehingga memerintahkan agar membatalkan kontrak tersebut," kata hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (22/2/2023). 

Agus Supriatna disebut hakim mengabaikan perintah Gatot Nurmantyo yang saat itu menjabat Panglima TNI. Agus justru menerbitkan disposisi kepada bawahannya agar melanjutkan proyek itu. 

"Namun atas surat tersebut, Agus Supriatna tidak bersedia membatalkan kontrak dan memberikan disposisi kepada Wakasau, Asrena Kasau, Aslog Kasau, dan Kadisadaau dengan tulisan 'ini system APBN 2016 yang sudah harus dieksekusi dan sudah turun DIPA TNI AU, utk siapkan dokumen-dokumen dalam kesiapan menjawab masalah tersebut'," ujar hakim. 

Kepada Republika, Agus Supriatna pernah memberikan tanggapan terkait namanya yang disebutkan pada dakwaan John Irfan Kenway. Menurut Agus, tuduhan terhadap dirinya ini menunjukan bahwa jaksa KPK tidak profesional.

Dalam surat dakwaan John Irfan Kenway yang dibacakan jaksa KPK pada 12 Oktober 2022, nama Agus Supriatna disebut. Dalam dakwaan tersebut, terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh mengaku memberi uang sebesar Rp 17,7 miliar kepada Agus Supriatna.

"Nanti tanya jaksa yang asal bicara tanpa bukti, data yang jelas, terlihat asal-asalan. Sangat tidak profesional," kata Agus saat dikonfirmasi Republika, Kamis (13/10/2022).

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, penasihat hukum Agus, Pahrozi membantah dakwaan tersebut. Dia mengatakan, bahwa kliennya tidak pernah menerima uang dari Irfan Kurnia Saleh seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa.

"Saya selaku penasihat hukum menolak keras dakwaan ini, karena klien saya tidak pernah menerima uang yang dituduhkan itu, tidak pernah melihat uang yang dituduhkan itu, tidak pernah ada janji dari swasta atas uang yang dituduhkan itu," kata Pahrozi kepada wartawan, Kamis.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement