REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku tidak bisa mengusut indikasi pencucian uang yang diduga dilakukan eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Lembaga antirasuah tersebut menegaskan, pihaknya baru bisa mengusut Rafael jika terdapat pidana korupsi.
"KPK memang diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang (TPPU), tapi dengan syarat pidana asalnya berasal dari korupsi," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/3/2023).
Alex menjelaskan, kewenangan untuk menindak TPPU yang pidana asalnya dari korupsi itu diatur dalam Undang-Undang (UU) KPK. Menurut dia, jika belum ditemukan pidana asal yang dilakukan oleh Rafael, maka pihaknya juga ragu untuk melakukan penindakan.
"KPK hanya berwenang melakukan penindakan perkara TPPU yang pidana asalnya dari korupsi, itu jelas di dalam UU KPK, tanpa diketahui pidana asalnya ya kita juga ragu juga," ujar Alex.
Selain itu, lanjut dia, KPK juga bakal kesulitan saat proses persidangan, jika langsung mengusut indikasi pencucian uang, tanpa ada pidana asal. Pasalnya, belum tentu suatu TPPU berasal dari tindakan rasuah.
"Kalau di sidang misalnya, oh ternyata bukan dari korupsi, ternyata misalnya dari jual beli narkoba, dari human trafficking, kan bukan kewenangan kami untuk melakukan penindakan TPPU kalau pidana asalnya bukan dari korupsi," ungkap Alex.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, indikasi pencucian uang oleh Rafael Alun Trisambodo harus ditindak. Menurut dia, indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan pidana serius jika dibandingkan dengan korupsi.
"Ya bisa dong, TPPU pidana serius lebih dari korupsi, ya. Ancamannya lebih daripada korupsi. Kalau memang pencucian uang, Rafael itu harus ditindak," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Dia mengatakan, baru mengetahui kekayaan Rafael setelah adanya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh putranya, yaitu Mario Dandy Satrio. Karena itu, ia menghubungi ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan sekretaris PPATK untuk mengonfirmasi harta kekayaan Rafael.
Adapun KPK telah memanggil Rafael untuk mengklarifikasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya yang mencapai Rp 56 miliar pada Rabu (1/3/2023). Dia diperiksa selama kurang lebih 8,5 jam.
Salah satu yang diklarifikasi, yakni perumahan seluas 6,5 hektare di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Berdasarkan hasil pengecekan KPK, aset tersebut dimiliki dua perusahaan atas nama istri Rafael.
Di samping itu, KPK mengatakan, motor Harley Davidson mencuri perhatian masyarakat, tidak memilik pelat nomor. Sedangkan, kepemilikan mobil Jeep Rubicon yang digunakan sang anak, ternyata atas nama kakak Rafael.
Rafael mengaku, mobil itu dia beli dari seseorang berinisal AS yang tinggal di sebuah gang di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Ia kemudian menjual Rubicon tersebut kepada sang kakak.