REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para mahasiswa Indonesia diharap tak ragu untuk bermimpi setinggi mungkin dan berimajinasi. Namun mimpi itu harus dilakukan setelah mengasah kepemimpinan intelektual dengan banyak membaca buku serta menggali ilmu, dan berdiskusi.
Langkah seperti itu adalah juga langkah yang pernah ditapaki oleh para Pendiri Bangsa seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Ali Sastroamidjojo.
Ilmu dan dorongan itu disampaikan oleh Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Hasto Kristiyanto, dalam kuliah umum yang diikuti ratusan mahasiswa dan civitas akademika, secara hybrid di Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Sulawesi Selatan (Sulsel), dalam keterangan persnya, Senin (6/3/2023).
Rektor Universitas Negeri Makassar, Prof. Dr. Ir. H. Husain Syam, memimpin jajaran mahasiswa dan sivitas akademika UNM yang hadir. Tampak Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa dan Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Hamdan Juhannis juga hadir di acara itu.
Hasto memaparkan tradisi intelektual Bung Karno sebagai bagian dari kuliah umumnya yang bertema “Reaktualisasi Pemikiran Bung Karno saat ini menyongsong Indonesia Emas 2044”.
Hasto banyak memotivasi para mahasiswa dan anak muda Indonesia untuk membangun tradisi intelektual dengan banyak membaca buku serta berdiskusi. Karena itu adalah bagian dari dialektika pertama dan kedua di tradisi intelektual Soekarno. Hasil dari dialektika tersebut adalah kemampuan untuk bermimpi dan berimajinasi akan sebuah perbaikan ke arah lebih baik.
“Jadi jangan pernah ragu bermimpi. Dari situ muncul imajinasi dan geest atau semangat juang. Kalau tidak melakukan dialektika pertama dan kedua, tidak akan berimajinasi. Mahasiswa saatnya berpikir apa problem rakyat kita,” kata Hasto.
Dalam melihat kondisi masyarakat dan dunia, lanjut Hasto, harus memiliki tiga perspektif. Yakni society view, national view, dan worldwide view.
“Dari imajinasi dan geest muncul kepentingan nasional dan tindakan strategis. M Hatta, dan KH Agus Salim juga sama merumuskannya. Tapi cara merespon yang berbeda dengan Bung Karno, namun saling melengkapi,” urai Hasto.
Hasto kembali menekankan bahwa dari para pendiri bangsa, bisa dipelajari bahwa segala sesuatunya dimulai dari tradisi intelektual.
“Maka rajinlah membaca dan diskusi. Karena tanpa olah pikir dan olah rasa, takkan bisa kemudian membangun semangat juang, tidak akan ada imajinasi masa depan,” ujarnya.
Hasto banyak berdiskusi dan mendapat pertanyaan dari para mahasiswa, soal bagaimana mengaktualisasikan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan aktual anak muda saat ini.
Salah satu yang disebutkan Hasto, adalah bagaimana Indonesia memiliki sumber daya alam luar biasa, namun sangat sedikit riset yang dilakukan mahasiswa dan perguruan tinggi atasnya. Contoh, Megawati Soekarnoputri mengkritik bagaimana di tengah ancaman stunting, tak terdengar riset perguruan tinggi soal makanan bergizi di sekitar masyarakat.
“Tidak ada negara sekaya kita dalam wisata kuliner. Sampai ada Buku Mustika Rasa. Australia dan Singapura iri kalau datang ke tempat kita. Tapi kenapa tidak pernah riset akan hal ini? Ibu Mega pernah memberikan kritik pada perguruan tinggi. Kita memiliki makanan yang bergizi kenapa kita menghadapi stunting. Ini ancaman 30-40 tahun bagi kita. Pentingnya kaum perempuan, dan kampus melakukan riset yang membumi,” beber Hasto.
“Jadi aktualisasi pemikiran Bung Karno, jawabannya adalah berbaktilah pada negara ini melalui riset dan inovasi sehingga kita menjadi bangsa berdaulat, berdikari dan bangga akan kebudayaan kita,” tegasnya.
Hasto juga banyak menceritakan kisah pengalaman dirinya sendiri, sejak bersekolah, mahasiswa, bekerja sebagai pegawai, hingga terjun ke dunia politik. Hasto menceritakan juga di hadapan peserta, bagaimana pengalaman dirinya dalam mengambil keputusan atas karirnya di politik.
“Pengalaman saya dulu di kampus pernah jadi ketua senat, pada usia 38 tahun saya jadi anggota DPR RI. Saya terinspirasi buku karya Jim Collins. Dari buku tersebut, sama dengan Bung Karno, kita diajarkan kita harus punya imajinasi,” pungkasnya.
Rektor UNM Husain Syam, menyatakan ajaran-ajaran Bung Karno masih sangat relevan dan bahkan fundamental bagi Indonesia. Wujudnya seperti dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila, hingga Bhinneka Tunggal Ika, konsep luar biasa di tengah keragaman bangsa Indonesia.
Di hadapan para mahasiswa dan sivitas akademika yang hadir, ia bernostalgia tentang sejumlah tulisan ditempel di dinding kelas saat masih bersekolah dasar.
Misalnya, tulisan berisi pernyataan Bung Karno, “kutitipkan bangsa dan negara ini kepadamu”.
“Apa maknanya, beliau telah berjuang habis-habisan membawa Indonesia merdeka, dan saatnya tugas kita agar isilah kemerdekaan dengan penuh perjuangan dan sumber daya manusia berkualitas sehingga negara ini menjadi maju. Ada amanat kita harus mengambil tanggung jawab di sana,” urainya.
Tulisan lainnya adalah ucapan Bung Karno, “berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia”. Menurutnya, kata-kata ini berusaha menginspirasi kaum muda bahwa pemuda adalah kata kunci dalam seluruh sejarah pergerakan republik ini.
“Mulai 1909, 1928, 1945, 1966, 1998. Semua dilakukan anak muda seperti anda semua mahasiswa. Belum pernah ormas agama, apakah NU atau Muhammaidyah mensponsori lahirnya perubahan yang ada. Tak pernah mampu kalau hanya ormas, yang bisa lakukan itu hanya kaum muda intelektual,” urainya.
Ada satu lagi ucapan Bung Karno yang digantung di dinding kelasnya saat SD. Yakni agar menggantungkan cita-cita setinggi langit, karena jikalau pun engkau jatuh, akan jatuh diantara bintang-bintang.
“Artinya bercita-citalah setinggi langit, kalaupun tidak tercapai, minimal kita jatuh akan di tengah. Masih lebih baik dari yang tak pernah bercita-cita karena masih akan tetap ada di dasar,” katanya.
“Intinya, Bung Karno, dalam ingatan saya, menjadi semacam motivator agar kita berani bermimpi dan bangkit mencapainya,” pungkas Husain.