Kamis 09 Mar 2023 07:30 WIB

Soal Putusan PN Jakpus, Yusril: Jangan Kembangkan Kecurigaan 'Oh Ini Ada yang Nyuap'

Kecurigaan terhadap hakim bisa disalurkan lewat kanal yang sudah tersedia.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Pengamat Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra meminta semua pihak berhenti membangun narasi ada suap atau permainan politik yang mempengaruhi hakim PN Jakarta Pusat (Jakpus) sehingga membuat putusan penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, sebaiknya fokus saat ini adalah mengajukan upaya hukum banding.

Yusril menjelaskan, putusan PN Jakpus itu memang salah. Sebab, pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara pemilu. Selain itu, putusan tersebut juga menyimpang dari kaidah putusan perkara perdata, yakni putusan hanya berdampak terhadap penggugat dan tergugat.

Baca Juga

Sedangkan putusan atas perkara yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan KPU RI ini turut berdampak kepada partai politik dan pemilih karena memerintahkan penundaan pemilu. Menurut Yusril, meski putusan tersebut salah, tapi semua pihak tetap harus menghormatinya.

Salah satu bentuk penghormatan itu, menurutnya, adalah KPU RI menempuh upaya hukum banding hingga kasasi. Ia mengingatkan agar jangan mencurigai hakim dengan berbagai tuduhan.

"Jadi saya kira proses ini (upaya hukum banding maupun kasasi) harus dijalankan, dan rakyat harus dididik supaya pengadilan memang harus berjalan seperti itu," kata Yusril kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/3/2023).

"Jangan belum apa-apa, lalu dikembangkan kecurigaan, oh ini ada yang nyuap, oh ini hakimnya disogok, oh ini ada yang ngatur, oh ini ada yang bermain di belakang. Negara ini enggak maju-maju kalau berpikir seperti itu" ujar mantan menteri Hukum dan HAM itu menambahkan.

Menurut Yusril, berbagai kecurigaan atas putusan atau hakim sebaiknya disalurkan lewat kanal-kanal yang sudah tersedia. Komisi Yudisial (KY), misalnya, bisa melakukan memeriksa hakim yang memutus perkara itu apabila memang ada dugaan pelanggaran etik.

"KPK pun boleh turun kalau sekiranya hakim itu diduga ada yang disuap dan sebagainya. Tapi bagaimana pun putusan pengadilan itu harus kita hormati, betapa pun putusannya itu salah," kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

PN Jakpus membacakan putusan atas gugatan yang dilayangkan Prima terhadap KPU RI itu pada Kamis (2/3/2023). Prima menggugat karena merasa dirugikan oleh KPU RI dalam proses verifikasi administrasi partai politik, yang mengakibatkan partai baru itu tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024.

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan telah merugikan Prima. Majelis hakim menghukum KPU untuk menghentikan tahapan Pemilu 2024 yang tengah berjalan dan mengulang tahapan pemilu sedari awal dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari. Artinya, pemilu yang sejatinya digelar 14 Februari 2024 ditunda ke Juli 2025.

Selang beberapa jam usai putusan kontroversial itu dibacakan, KPU RI langsung menyatakan hendak mengajukan banding. Terkait perintah mengulang atau menunda pemilu, KPU RI tidak mau menjalankannya.

KPU RI tegas menyatakan akan tetap melaksanakan tahapan Pemilu 2024 dengan menggunakan landasan hukum Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2024. Sebab, beleid tersebut tidak dibatalkan dalam putusan PN Jakpus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement