Ahad 19 Mar 2023 12:16 WIB

Baju Bekas Impor dan Tantangan Industri Dalam Negeri

.Beranikah pemerintah menindak pelakunya?

Calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (17/2/2023). Penjualan baju impor bekas masih banyak diminati masyarakat karena selain harganya lebih murah, secara kualitas juga masih layak pakai. Harga setiap pakaian dijual mulai dari Rp30.000 hingga ratusan ribu rupiah tergantung kualitas dan merek.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (17/2/2023). Penjualan baju impor bekas masih banyak diminati masyarakat karena selain harganya lebih murah, secara kualitas juga masih layak pakai. Harga setiap pakaian dijual mulai dari Rp30.000 hingga ratusan ribu rupiah tergantung kualitas dan merek.

Oleh : Agus Yulianto, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Siapa yang tak kenal dengan Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. Mungkin, tak hanya warga Bandung Raya yang mengenal dengan pasar pakaian bekas impor terbesar di Jabar bahkan Tanah Air. Warga dari berbagai pelosok nusantara pun kerap 'berburu' pakain bekas berkualitas.

Belanja baju bekas atau bahasa bekennya thrifting, sudah cukup lama manjadi gaya hidup di kalangan anak muda. Tak terkecuali artis ibu kota dan lokal, atau selebgram yang tak sedikit berburu pakain bekas impor tersebut. Dan Pasar Cimol Gedebage tentu saja menjadi tujuannya.

Wajar, di pasar ini, barang bekas--tak hanya feshion, tapi juga sepatu dengan berbagai mode, dijual dengan harga miring. Di sisi lain, kualitas barang bekas itu pun masih cukup bagus. Bahkan, bila sudah dikenakan, banyak orang tak akan menyangka kalau itu barang (baju) bekas.

Baca juga : Baju Bekas Impor Marak, API Jateng : Resahkan Pelaku Industri Tekstil

Apalagi, jika kita beruntung, tak jarang menemukan baju dengan brand luar negeri yang ternama. Padahal, bila di store asli,, bisa mencapai harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Namun, di pasar Cimol Gedebage ini, barang-barang tersebut hanya cukup dibayar dengan harga Rp 50 ribu atau paling mahal Rp 150 ribu.

Soal harga, Gedebage memang tak main-main murahnya. Kebanyakan pedagang mampu menjual dengan harga murah karena langsung membeli banyak dalam bentuk karung. Begitupun para pembeli, jika ingin menjual lagi, maka mereka pun membeli dalam bentuk karungan atau ball.

Sebagai contoh, untuk satu ball isi kurang lebih 200 baju, maka harganya berkisar Rp 5-6 juta. Namun, itu pun masih tergantung jenisnya. Ada merek seperti Nike, The North Face. Merek seperti itu paling dicari dan kalau bekas pun masih cukup tinggi harganya. 

Namun, pertanyaannya amankah baju bekas ini bagi kesehatan tubuh kita? Ya, baju bekas pasti memilik kualitas yang tak sebaik membeli baju baru. Maka, masih diperlukan untuk menyortir ulang guna memastikan barang yang diperoleh tidak cacat dan juga aman untuk kesehatan.

Baca juga : Thrifting Dilarang, Pemkot Bandung Cari Jalan Tengah

Hasil penelitian Kemendag menunjukkan baju bekas impor mengandung bakteri yang tidak baik bagi tubuh manusia. Bahkan, ketika baju itu sudah dicuci berkali-kali, bakteri yang ada di baju tersebut tidak hilang. 

Namun demikian, hasil penelitian itu tak berdampak pada bisnis baju bekas di Tanah Air. Bisnis ini tak membuat banyak peminat yang kapok untuk membeli baju bekas. Buktinya, hingga saat ini bisnis barang bekas ini tetap menggeliat dengan omset yang fantastis miliaran rupiah.

Fakta inilah yang kemudian membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut memberikan perhatiannya terhadap bisnis baju bekas impor yang marak saat ini. Dia bahkan menegaskan, bila bisnis baju bekas impor ini sangat menganggu industri tekstil dalam negeri.

"Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu. Yang namanya impor pakaian bekas, mengganggu. Sangat mengganggu industri dalam negeri kita," begitu kata Jokowi.

Karena itu, demi melindungi industri dalam negeri, dia pun menginstruksikan jajarannya agar mencari para pelaku impor pakaian bekas. Pasalnya, menurut data CIPS dan ApsyFI, 80 persen produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan mikro.

Baca juga : Thrifting Bisa Jadi Celah Importir Nakal

Dampak negatif

Kementerian Koperasi dan UKM menegaskan, bisnis thrifting atau baju bekas hingga sepatu bekas impor, membawa banyak dampak negatif di dalam negeri. Selain merugikan pelaku UMKM yang membuat produk lokal, keberadaan produk tekstil bekas impor itu juga membawa dampak buruk bagi lingkungan hingga pendapatan negara.

Seperti dikatakan Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kemenkop UKM, Hanung Harimba, persoalan maraknya thrifting saat ini menjadi isu serius. Bisnis thrifting secara resmi dilarang pemerintah dan diatur dalam undang-undang karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan.

"Keberadaan thrifting pakaian bekas impor menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena banyak di antara baju bekas impor tersebut berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA)," kata Hanung.

Apalagi, thrifting yang notabene pakaian bekas impor, juga merupakan barang selundupan atau ilegal. Dengan kata lain, barang-barang bekas pakai tersebut tidak membayar bea dan cukai sehingga menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara.

Baca juga : Peringatan Bagi Mereka yang Senang Menumpuk Harta

Larangan thrifting pakaian impor ini memang telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Pada Pasal 2 Ayat 3 tertulis, barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.

Pertanyaannya, adakah keberanian dari pihak-pihak terkait untuk memberikan sanksi kepada ribuan pelaku bisnis barang bekas ini? Kita tunggu aksinya! 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement