Sabtu 18 Mar 2023 05:47 WIB

Perbedaan Mencolok Perilaku Tentara Salib dan Pasukan Islam di Bawah Salahuddin

Perang Salib adalah bentuk agresi yang cenderung ke pembantaian Muslim

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Perang Salib (Ilustrasi). Perang Salib adalah bentuk agresi yang cenderung ke pembantaian Muslim
Foto: Screenshoot
Perang Salib (Ilustrasi). Perang Salib adalah bentuk agresi yang cenderung ke pembantaian Muslim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Perang Salib merupakan serangkaian pertempuran yang terjadi secara periodik antara tahun 1095 dan 1291 Masehi.

Palagan yang memakan waktu nyaris dua abad itu dilatari ambisi para pemimpin agama dan politik Kristen Eropa Barat. Mereka berhasrat merebut Baitul Makdis atau Yerusalem dari tangan Muslimin.

Baca Juga

Haddad Wadi Z dalam artikelnya, The Crusaders through Muslim Eyes, menjelaskan kebanyakan sejarawan Muslim pada akhir Abad Pertengahan menilai Perang Salib sebagai serangan brutal yang dilakukan orang asing (alien intruders) kepada penduduk lokal, yakni warga Baitul Makdis dan sekitarnya. 

Para ahli sejarah itu juga menyoroti perbedaan Salibis dengan agresor lainnya pada masa itu. Kaum penjajah dari Eropa Barat ini terkesan datang bukan untuk merampas suatu wilayah, lalu memerintah dan menarik pajak dari seluruh masyarakat lokal.

Alih-alih begitu, mereka justru lebih suka mendirikan koloni di wilayah taklukannya setelah membantai semua orang setempat yang berlainan iman dengannya. Dapat disimpulkan, tentara Salibis dalam perspektif sejarawan Muslim adalah gerombolan ekstremis. 

Bagaimanapun, yang cukup menarik perhatian adalah bahwa tidak satu pun ahli sejarah itu yang menyebut mereka sebagai pasukan salib atau namanama lain yang menunjukkan identitas keagamaan tertentu, semisal Kristen. Para agresor itu disebutnya bangsa Frank (al-Faranj atau al-Ifranj) yang menandakan asal negeri, bukan agama, mereka. 

Dengan demikian, apa yang dinamakan sejarawan modern kini sebagai tentara Salib, itu diidentifikasi para sarjana Muslim abad pertengahan lebih sebagai orang asing. 

Walaupun memang, lanjut Haddad Wadi, ada kalanya balatentara itu disebut sebagai orang kafir, seperti pada saat pertempuran berlangsung antara kedua belah pihak. 

Haddad meneruskan, banyak dinasti Muslim yang memerangi Romawi Timur (Bizantium) sebelum gelombang Salibis terjadi. Artinya, pertempuran melawan bangsa asing yang non-Islam bukanlah sesuatu yang luar biasa. 

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Akan tetapi, fenomena yang dihadirkan Pasukan Salib membuka mata mereka tentang perangai barbar yang datang dari luar dunia Islam. Mereka menyaksikan dengan sedih, bagaimana Salibis tidak beretika dalam melancarkan perang. 

Saat menduduki Antiokia, Akra, Haifa, Jubail, dan puncaknya Baitul Makdis, gerombolan tersebut bertindak tanpa perikemanusiaan sedikit pun. 

Mereka membasmi semua orang Islam setempat dan membumihanguskan rumah-rumah warga sipil. Karena itu, ketika Sultan Shalahuddin membebaskan Tanah Suci pada 1187, kebijakan yang diambil sang pemimpin Dinasti Ayyubiyah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Salibis berpuluh-puluh tahun silam.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement