REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada Jumat lalu. Itu karena inflasi mereda dan China keluar dari pembatasan Covid-19.
Meski begitu, OECD tetap memperingatkan kerentanan. Jangan sampai terdampak gejolak sektor bank Amerika Serikat (AS).
OECD mengatakan, kini ekonomi global diharapkan tumbuh sebesar 2,6 persen tahun ini dibandingkan 2,2 persen pada perkiraan sebelumnya pada November. Hanya saja tetap di bawah ekspansi 3,2 persen yang terlihat pada 2022.
"Tanda-tanda yang lebih positif sekarang mulai muncul, dengan bisnis dan sentimen konsumen mulai membaik. Lalu harga makanan dan energi turun kembali dan pembukaan kembali China secara penuh," kata OECD dalam laporan Interim Economic Outlook, seperti dilansir Zawya, Sabtu (18/3/2023).
Hanya saja, organisasi itu memperingatkan, perbaikan prospek masih rapuh. Risiko menjadi sedikit lebih seimbang, tetapi tetap miring ke bawah.
Itu mengutip ketidakpastian selama perang di Ukraina, risiko tekanan baru pada pasar energi dan dampak kenaikan suku bunga. Beberapa bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga dalam upaya menjinakkan inflasi yang tinggi selama puluhan tahun, tetapi pasar khawatir kenaikan biaya pinjaman dapat mendorong ekonomi ke dalam resesi.
"Tanda-tanda dampak pengetatan kebijakan moneter sudah mulai tampak di sebagian sektor perbankan, termasuk bank regional di Amerika Serikat. Suku bunga lebih tinggi juga bisa memiliki efek yang lebih kuat pada pertumbuhan ekonomi dari yang diharapkan, terutama jika mereka mengungkap kerentanan keuangan yang mendasarinya," jelas OECD.
Pengetatan moneter telah dikaitkan dengan runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pekan lalu. Itu setelah membukukan kerugian sebesar 1,8 miliar dolar AS pada obligasi yang harganya diturunkan oleh tingkat yang lebih tinggi.