REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Thrifting sebetulnya bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak lama, pakaian bekas dari luar negeri masuk dari berbagai jalur, sebagian ilegal.
Perdagangan pakaian bekas bisa lestari di Indonesia karena ada yang membutuhkannya. Bagi penggemar mode, berburu baju-baju bermerek luar negeri dengan harga miring mendatangkan keseruan tersendiri.
Herning Banirestu, contohnya. Wanita berjilbab ini sudah menjadi thrifter sejak tahun 2000-an.
"Awalnya ya nyari model baju yang beda saja sama teman. Karena kalau nge-thrift suka dapat yang unik-unik," ujar Herning kepada Republika.co.id, Ahad (19/3/2023).
Saat thrifting, Herning mengaku dahulu lebih suka mencari baju. Misalnya baju branded Amerika dan Korea. Sementara itu, untuk jenama lokal, Herning lebih memilih membeli barang baru.
"Saya suka yang unik-unik kalau lokal," ujarnya.
Herning mengatakan beralih membeli barang thrift lokal, jika harga barunya mahal harga. Misalnya, untuk tas dari jenama MyTulisan.
Kinim Herning juga mengaku mulai membeli barang seken lain selain baju karena sudah memiliki uang lebih. Herning juga gemar membeli sepatu atau tas branded.
Herning mengatakan saat ini sedang suka membeli barang vintage, misalnya tas Coach vintage yang usianya sudah 30 tahun ke atas. "Kalau branded bag gini kan ada tahun kelahirannya."
Herning lebih memilih barang second karena dua alasan. Pertama, harga barangnya lebih murah dibanding harga barang baru.
"Karena beli baru menurut saya enggak worthed, mending beli second," ujarnya sambil terkekeh.
Untuk harga barang yang dipasarkan di toko second, menurut Herning, cukup terjangkau. Namun, itu pun tergantung merek.
"Kalau middle brand baju ya Rp 100 ribuan, kalau yang brand terkenal biasa ya Rp 50 ribuan," ungkapnya.