REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai, wacana pembentukan koalisi besar menyisakan kerumitan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ini karena di dalamnya terdapat partai besar yang memiliki tokoh-tokoh yang ingin diajukan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Karena semua kekuatan politik menjadi satu kekuatan, rumitnya adalah kira-kira siapa capres yang akan diusung, ketika koalisi besar ini akan terbentuk," ujar Adi kepada Republika, Selasa (4/4/2023).
Adi melanjutkan, apalagi, jika koalisi besar ini menyertakan PDIP di dalamnya. Adi mengatakan, besar kemungkinan koalisi besar ini juga berharap PDIP tergabung di dalamnya agar semakin kuat dalam barisan politik di Pilpres 2024.
"Prabowo-Ganjarkah atau Ganjar Prabowo atau Prabowo-Cak Imin atau Prabowo Airlangga Hartarto, ini juga kerumitan-kerumitan yang agak sulit untuk dijelaskan," ujarnya.
Namun, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini menilai, jika PDIP tidak bergabung pun tidak menjadi soal. Karena partai besutan Megawati Soekarnoputri tersebut sudah menggenapi syarat mencalonkan presiden sendiri di pilpres.
"Kalau pun toh PDIP tidak mau menjadi bagian di dalamnya ya rasa-rasanya PDIP akan jalan sendiri karena PDIP sudah cukup ya menggenapi ambang batas presiden 20 persen," ujarnya.
Di sisi lain, Adi menilai wacana koalisi besar usai pertemuan Presiden Joko Widodo dengan lima ketua umum koalisi Pemerintah ini juga dimaknai sebagai bagian nilai tawar atau bargaining Jokowi kepada PDIP.
"Pertemuan antara KIB dan KKIR kemarin itu menjadi kode keras ya sebagai bargain politik dari Jokowi kepada PDIP. Kalau Jokowi memang sudah tidak terlampau didengarkan, maka sangat mungkin Jokowi juga bisa bicara dengan kelima partai yang kemarin kumpul di DPP PAN itu," ujarnya.