REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel mencanangkan peta jalan (roadmap) pertumbuhan organik dan inorganik yang berdampak terhadap kinerja fundamental sekaligus mendukung transformasi digital di Indonesia. Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko atau Teddy mengatakan Mitratel pada 2023 berencana mengembangkan ekosistem bisnis menara dengan menambah jumlah menara telekomunikasi, membangun fiber optic, serta infrastruktur pendukung lainnya, yang akan meningkatkan pendapatan dan laba bersih di periode mendatang.
"Hingga akhir 2022, Mitratel memiliki 35.418 menara telekomunikasi sehingga Mitratel tercatat sebagai perusahaan yang memiliki menara terbanyak di Asia Tenggara," ujar Teddy di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Untuk semakin memperkuat fundamental bisnisnya, ucap Teddy, perseroan menganggarkan belanja modal (capital expenditure/capex) di 2023 ini senilai Rp 7 triliun untuk menunjang rencana pengembangan usaha organik dan inorganik, seperti akuisisi menara telekomunikasi dan fiber optic. Teddy menyampaikan Mitratel siap merealisasikan rencana bisnis dan mengoptimalkan berbagai peluang bisnis pada 2023, yakni memonetisasi aset menara yang tersebar di berbagai lokasi strategis di seluruh Indonesia.
"Kami juga telah menyiapkan model bisnis terbaru, yaitu Fiber to the Tower dan Power to the Tower, yang memberikan layanan bernilai tambah kepada operator telekomunikasi yang menjadi pelanggan Mitratel," ucap Teddy.
Teddy optimistis Mitratel dapat menjaga pangsa pasar di industri menara telekomunikasi, setelah perseroan menguasai pangsa pasar sekitar 40 persen pada 2022. Menurut Teddy, kebutuhan akan menara telekomunikasi di Indonesia masih tinggi, karena secara rata-rata satu menara telekomunikasi di Indonesia menjangkau populasi sebanyak 2.700 jiwa atau lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
"Hal ini mengisyaratkan bahwa dibutuhkan lebih banyak menara bagi operator telekomunikasi untuk memperluas jaringan dan layanan selulernya," lanjut Teddy.
Perseroan, ucap Teddy, juga telah bersiap apabila operator telekomunikasi (mobile network operator/MNO) berekspansi untuk memperluas layanan 5G. Perseroan memproyeksikan penetrasi 5G pada 2025 sebesar 27,2 persen atau lebih tinggi dari potensi penetrasi 5G dibanding 2024 sebesar 13,4 persen.
"Kami memiliki menara terbanyak di Indonesia dan lokasinya tersebar di seluruh Indonesia, yakni 58 persen menara tersebar di luar Pulau Jawa dan yang 42 persen di Pulau Jawa serta memiliki fiber optic sepanjang 16.641 km," ungkap Teddy.
Hingga akhir 2022, Teddy sampaikan, perseroan berhasil mendapatkan pesanan (order) untuk membangun 25 ribu km fiber optic dari MNO atau 30 persen dari total fiber roll out MNO di 2022. Hal ini menegaskan perseroan telah dipercaya sebagai penyedia solusi infrastruktur digital (Digital InfraCo) independen yang memiliki menara telekomunikasi terbanyak yang dilengkapi solusi pendukung digital lainnya, yakni fiber optic.
Pada kesempatan terpisah, Research analyst PT BRI Danareksa Sekuritas Niko Margaronis menyampaikan pendapatan Mitratel pada 2023 berpotensi tumbuh sekitar 11-12 persen. Niko menyebut Mitratel kian profesional dan independen setelah melakukan IPO.
"Selain Telkomsel, operator telekomunikasi lainnya, yakni XL, Indosat Hutchison, dan Smartfren melakukan kemitraan bisnis dengan Mitratel. Kepercayaan konsumen semakin tinggi kepada Mitratel sehingga pendapatannya berpeluang tumbuh sekitar 11 persen hingga 12 persen di 2023," ucap Niko.
Niko mengatakan kehadiran MTEL yang kuat yakni 58 persen aset menara MTEL terletak di luar Jawa, dibandingkan TOWR dan TBIG masing-masing 39 persen dan 41 persen. Hal ini berpotensi membuat MTEL lebih menarik bagi operator telekomunikasi untuk memperluas jaringannya masing-masing. Dalam kinerja 2022 tercatat pendapatan Mitratel pada tahun 2022 tumbuh 12,5 persen atau menjadi Rp 7,72 triliun dari Rp 6,87 triliun di 2021. Pada periode ini, laba bersih Mitratel senilai Rp 1,78 triliun atau melonjak sebesar 29,3 persen dibandingkan Rp 1,38 triliun, sedangkan EBITDA naik sebesar 18,5 persen, menjadi Rp 6,14 triliun dari Rp 5,18 triliun.
"Hal ini terlihat kinerja Mitratel dan tercatat tumbuh cepat dan kepemilikan Menara terbanyak di atas industri sebanyak 35.418 site dibanding TOWR sebanyak 29.794 site dan jumlah tower TBIG sebanyak 21.758 site," lanjut Niko.
Niko menyebutkan sejumlah faktor pendorong pertumbuhan bisnis Mitratel, antara lain memperoleh pendapatan dari monetisasi aset yang berasal dari akuisi tower dan fiber optic, serta penyewaan menara kolokasi di luar Pulau Jawa. Niko mencermati alokasi belanja modal Mitratel yang senilai Rp 7 triliun itu akan digunakan untuk membiayai rencana bisnis organik. Porsinya sebesar 60 persen dari jumlah total capex. Kemudian, sekitar 40 persen dari capex Mitratel ini akan digunakan untuk mendanai akuisi menara telekomunikasi dan fiber optic.
"Dana hasil IPO dan arus kas Mitratel yang sehat akan mendorong kinerja fundamental Mitratel untuk meningkatkan pendapatan dan mengoptimalkan sumber pendapatan baru di tahun ini," ucap Niko.
BRI Danareksa Sekuritas menyebutkan skala bisnis dan jumlah tower Mitratel lebih dominan dibandingkan emiten menara telekomunikasi lainnya. Kinerja fundamental Mitratel diyakini pelaku pasar berdampak terhadap harga saham Mitratel.
"Kami memproyeksikan harga saham Mitratel hingga akhir tahun 2023 di rentang Rp 930 - Rp 950," kata Niko.