REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menjelaskan slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) gagal ditempati satelit dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) karena terkendala dana. Padahal Kemenhan sudah disetujui Kemenkominfo untuk mengambil slot tersebut ketimbang pihak swasta pada 2016.
"Ada permasalahan di Kemenhan, dikembalikan lagi slotnya kalau nggak salah 2018. Karena setahu saya ada masalah pendanaan, masalah arbitrase," kata Rudiantara saat bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT di lingkungan Kemenhan pada Kamis (6/4/2023) di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat.
Rudiantara hadir sebagai saksi untuk terdakwa mantan Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemenhan Laksamanan Muda (Purn) Agus Purwoto; Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK), Arifin Wiguna; Direktur Utama PT DKN, Surya Cipta Witoelar; dan Senior Advisor PT DNK, Thomas Anthony Van Der Heyden.
Rudiantara tak mengetahui alasan dana itu gagal cair dari Kemenkeu. Menurutnya, hal tersebut bukan menjadi wewenang Kemenkominfo lagi karena pengisian slot sudah diserahkan kepada Kemenhan.
"Kemenhan enggak dapat dana yang dimintakan sepenuhnya dari Kemenkeu. Kominfo nggak ikutan masalah pendanaan karena hak pengelolaan sudah diserahkan," ujar Rudiantara.
Adapun mengenai masalah arbitrase, Rudiantara juga tak mengetahui detail perkaranya.
"Tahu dari surat yang dikirim Menhan dan ditembuskan ke kami isinya tuntutan dari pemasok yang dibawa ke arbitrase. Saya tidak ingat dari arbitrase mana," lanjut Rudiantara.
Selain itu, Rudiantara menegaskan Kemenhan tak bisa menggunakan slot satelit itu untuk kegiatan komersial. Kemenhan dapat menggunakan satelit hanya untuk kepentingan pemerintah. Misalnya, membantu Kementerian Kelautan dan Perikanan memantau aktivitas kapal.
"Tidak ada untuk kebutuhan komersial. Untuk lembaga negara lain bisa seperti Basarnas, Bakamla," ucap Rudiantara.
Setelah kegagalan Kemenhan, slot satelit tersebut akhirnya diserahkan kepada PT DNK pada 2018. Hal ini diputuskan oleh Kemenkopolhukam yang saat itu dipimpin oleh Wiranto.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempermasalahkan keputusan tersebut. Sebab Kemenkominfo sempat menyatakan PT DNK tak punya pengalaman dalam hal satelit.
"Katanya DNK tidak ada pengalaman?" tanya JPU.
"Memang begitu, tapi dari evaluasi teknis, komersial, komitmen Kemenkopolhukam menyatakan yang berhak kelola PT DNK setelah dikembalikan Kemenhan," jawab Rudiantara.
Selanjutnya, Rudiantara tak mengetahui apa yang terjadi dengan slot satelit sepanjang 2016-2018 atau sejak Kemenhan memiliki izin mengambil slot satelit hingga diserahkan ke PT DNK. Ia merasa sudah menyerahkan kewenangan kepada Kemenhan.
"Saya tidak tahu karena yang mengadakan satelit bukan kami. Mungkin ada koordinasi ke Dirjen (Kominfo) bisa jadi, tapi dari segi kebijakan saya nggak tahu. Tidak tahu juga Kemenhan sudah ada pengeluaran atau belum (dari pengadaan slot satelit)," ungkap Rudiantara.
Diketahui, kasus ini menjerat Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, Arifin Wiguna, Surya Cipta Witoelar, dan terdakwa berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS) Thomas Anthony Van Der Heyden. Perkara ini didakwa kerugian keuangan negara sebesar Rp 453 miliar.
Agus Purwoto disebut Jaksa Penuntut Umum diminta oleh Thomas Anthony, Arifin Wiguna dan Surya Cipta Witoelar supaya menandatangani kontrak sewa satelit Floater yaitu Satelit Artemis antara Kemenhan dengan Avanti Communication Limited walau sewa satelit Artemis tidak dibutuhkan.
Dalam perkara ini, Agus, Arifin, Surya, dan Anthony didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.