REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan akan melakukan koordinasi lanjutan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk pendalaman lebih lanjut dalam kasus transaksi emas senilai Rp 189 triliun guna menentukan langkah hukum berikutnya. Sebelumnya, transaksi ini diungkap oleh Menko Polhukam Mahfud MD saat rapat bersama Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
"PPATK dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di bawah koordinasi Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan terus melakukan koordinasi lanjutan untuk melakukan pendalaman, terutama menyangkut hasil dari proses hukum yang sudah dilakukan, data-data yang ada, serta hasil analisa," ungkap Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi IIII Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Selasa (11/4/2023).
Menurutnya, transaksi emas senilai Rp 189 triliun sebelumnya sudah ditindaklanjuti, namun masih akan didalami lebih lanjut untuk melihat kemungkinan pelanggaran lainnya. Adapun transaksi ini merupakan bagian dari transaksi janggal di Kemenkeu yang senilai Rp 349 triliun dalam surat PPATK sejak tahun 2009-2023.
Ia menjelaskan dari keseluruhan transaksi janggal di Kemenkeu selama periode tersebut, terdapat transaksi janggal senilai Rp 253 triliun dari 65 surat PPATK pada periode 2009-2023 tentang perusahaan atau korporasi untuk ditindaklanjuti oleh Kemenkeu. Dari 65 surat, ada salah satu surat yang menonjol berisi transaksi debit kredit operasional perusahaan atau korporasi dengan transaksi terbesar Rp189 triliun yang menyangkut tugas dan fungsi Kemenkeu, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Surat tersebut bermula dari kegiatan analisis intelijen dan pengawasan lapangan DJBC terhadap ekspor emas, dimana pada tanggal 21 Januari 2016 Bea Cukai Soekarno Hatta (Soetta) melakukan penangkapan dan penindakan atas ekspor emas melalui kargo Bandara Soetta atas nama PT X. Penangkapan dan penindakan ini, sambung Sri Mulyani, sudah dilanjutkan dengan proses penyidikan dan pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri pada tahun 2017 sampai dengan Mahkamah Agung.
"Hasilnya, untuk putusan akhir terhadap pelaku perorangan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Sementara putusan akhir terhadap pelaku korporasi dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi pidana sebesar Rp 500 juta," tuturnya.
Setelah proses penangkapan dan peradilan tersebut, tambah Menkeu, DJBC bersama PPATK melakukan pendalaman dan membangun kasus tersebut kembali atas perusahaan-perusahaan terkait yang berafiliasi. Bea Cukai juga melakukan pengetatan dan pengawasan impor emas melalui jalur merah, dimana emas tersebut secara fisik dibuka dan dilihat untuk memastikan barangnya sama dengan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
Sebelumnya, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menyebut ada dugaan tindak pidana pencucian uang senilai Rp 189 triliun di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ia mengatakan, dugaan TPPU tersebut berkaitan dengan impor emas.
"Apa itu emas? Ya. Impor emas batangan yang mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah," ujar Mahfud dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).
Ia menambahkan, pihak bea cukai berdalih bahwa impor yang dilakukan adalah emas murni, bukan batangan. Di mana kemudian, emas batangan tersebut dicetak oleh sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur.
"Dicari ke Surabaya, ndak ada pabriknya dan itu nyangkut uang miliaran Saudara, ndak diperiksa," ujar Mahfud.