REPUBLIKA.CO.ID,vKHARTOUM – Baku tembak senjata di Sudan, Selasa (25/4/2023) berkurang. Namun, lebih banyak warga asing dan lokal memilih meninggalkan ibu kota Khartoum demi keamanan nyawa mereka. Di sisi lain, kini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkhawatirkan tingginya risiko biological hazarad (biohazard).
Sebab, pihak bertikai di Sudan menguasai sebuah laboratorium kesehatan. Menurut WHO, sebuah fasilitas kesehatan yang menyimpan patogen cacar air dan kolera untuk vaksinasi, National Public Health Laboratory, kini dikuasai salah satu pihak bertikai. Fasilitas itu juga merupakan bank darah utama di Sudan.
Namun, WHO tak memberikan penjelasan mendetail siapakah dari dua pihak bertikai, militer Sudan dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), yang menguasai lab itu.
Berbicara kepada reporter di Jenewa, Swiss melalui link video dari Sudan, salah satu pejabat WHO Nima Saeed Abid mengatakan, kelompok bersenjata membuat para teknisi keluar dari National Public Health Laboratory.
‘’Ini menjadi perhatian utama kami. Tak ada akses bagi para teknisi ke lab dan keamanan materi biologi yang ada di sana,’’ katanya, Selasa (25/4/2023). RSF menuding tentara Sudan melanggar gencatan senjata 72 jam yang disepakati pada Senin (24/4/2023).
Seorang saksi mata mengungkapkan, terjadi kontak senjata secara sporadis pada Selasa pagi di Kota Omdurman, yang berdekatan dengan Khartoum. Sejumlah ledakan juga terdengar di Bahri. Kementerian Luar Negeri Sudan menyatakan, RSF menyerang para diplomat.
Angkatan Bersenjata Sudan menyatakan, AS dan Arab Saudi melakukan mediasi untuk gencatan senjata. Namun, sejumlah gencatan senjata dengan cepat pudar. Eksodus staf kedubes dan pekerja kemanusiaan meningkatkan kekhawatiran soal keselamatan warga sipil.
Yassir Arman, sosok kunci koalisi politisi sipil, Forces for Freedom and Change (FFC), mendesak lembaga-lembaga kemanusiaan dan komunitas internasional membantu memulihkan ketersediaan air dan listrik. Tak kalah pentingnya generator di rumah sakit.