REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Tentara Sudan dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) bertempur di pinggiran Khartoum pada Rabu (26/4/2023). Bentrokan yang terus bergulir telah merusak gencatan senjata dalam konflik yang sudah berjalan 11 hari, walau tentara tetap ingin memperpanjangnya.
Beberapa pertempuran terberat hari Rabu terjadi di Omdurman, sebuah kota yang bersebelahan dengan Khartoum. Tentara memerangi bala bantuan RSF dari daerah lain di Sudan.
Tembakan senjata berat dan serangan udara terdengar hingga malam hari. Sedangkan di Khartoum, gerombolan merampok dan terjadi penjarahan yang meluas.
Bentrokan mematikan pecah di Geneina di Darfur Barat pada Selasa dan Rabu yang mengakibatkan penjarahan dan kematian warga sipil. Pertarungan itu meningkatkan kekhawatiran tentang peningkatan ketegangan etnis.
Tentara mengatakan pada Rabu malam, pemimpinnya Jenderal Abdel Fattah al-Burhan memberikan persetujuan awal pada rencana untuk memperpanjang gencatan senjata selama 72 jam lagi. Militer telah mengirim utusan militer ke ibu kota Sudan Selatan, Juba, untuk melakukan pembicaraan.
Angkatan bersenjata Sudan dan RSF sebelumnya menyetujui gencatan senjata tiga hari yang akan berakhir Kamis (27/4/2023) malam. Tidak ada tanggapan langsung dari RSF terhadap proposal dari Otoritas Pembangunan Antarpemerintah (IGAD).
Militer mengatakan, presiden Sudan Selatan, Kenya, dan Djibouti mengerjakan proposal yang mencakup perpanjangan gencatan senjata dan pembicaraan antara kedua kekuatan. "Burhan berterima kasih kepada IGAD dan menyatakan persetujuan awal untuk itu," kata pernyataan militer tersebut.
Sejak pertempuran meletus pada 15 April, serangan udara dan artileri telah menewaskan sedikitnya 512 orang, melukai hampir 4.200 orang. Bentrokan antara dua kekuatan itu menghancurkan rumah sakit dan membatasi distribusi makanan di negara yang sepertiga dari 46 juta penduduknya sudah bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, hanya 16 persen fasilitas kesehatan yang berfungsi di Khartoum. Badan kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini memperkirakan lebih banyak lagi angka kematian karena penyakit dan kekurangan makanan, air, dan layanan medis termasuk imunisasi.
Diperkirakan 50.000 anak-anak yang kekurangan gizi akut mengalami gangguan pengobatan akibat konflik. Rumah sakit yang masih berfungsi menghadapi kekurangan pasokan medis, listrik dan air.
Selain itu, krisis telah mengirim semakin banyak pengungsi melintasi perbatasan Sudan. Badan pengungsi PBB memperkirakan 270 ribu orang dapat melarikan diri ke Sudan Selatan dan Chad saja.
Pejabat Menteri Luar Negeri Sudan Selatan Deng Dau Deng Malek mengatakan, ada lebih dari sejuta warga Sudan Selatan yang tinggal di Sudan. “Ada kebutuhan mendesak sekarang saat kami berbicara untuk mendukung pemerintah Negara Bagian Upper Nile, Kabupaten Renk. Mereka membutuhkan bahan bakar. Mereka butuh mobil, orang di Khartoum dan tempat lain, dan mereka butuh uang,” ujarnya.
Malek menyatakan, pemerintah mengevaluasi risiko dan keselamatan dan melihat tidak ada masalah bagi warga Sudan Selatan untuk datang melalui jalan karena bukan bagian dari pertempuran itu. "Kami sedang berbicara dengan semua pihak untuk kembali ke meja perundingan,” katanya.
Orang asing yang dievakuasi dari Khartoum menggambarkan mayat berserakan di jalan dan bangunan terbakar. Daerah pemukiman berubah menjadi medan perang dan pemuda berkeliaran dengan pisau besar. Gedung Putih mengatakan, kembali jatuh korban dari warga Amerika Serikat (AS) di Sudan untuk kedua kalinya.