REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Tidak diragukan lagi bahwa hubungan badan merupakan salah satu tujuan suami dan istri dalam berumah tangga. Suami harus melakukan hubungan intim dengan istrinya, begitu pun sebaliknya.
Dalam hubungan ini, agama Islam melalui fikih mengatur apa-apa saja yang menjadi hak suami dan istri dalam berhubungan intim serta masa minimal melakukan hubungan intim untuk memenuhi hak-hak istri atau sebaliknya. Syekh Muhammad Al-Utsaimin dalam kitab Shahih Fikih Wanita menjelaskan, suami maupun istri harus melakukan hubungan intim kecuali dalam kondisi yang membahayakan dari segi agama maupun fisik.
Bahaya dari segi agama, misalnya, berdampak pada penundaan kewajiban-kewajiban dari waktunya. Sedangkan bahaya dari segi fisik cukup jelas, seperti kondisi suami sedang sakit maupun sebaliknya.
Menurut Madzhab Hanbali, suami harus melakukan hubungan intim dengan istrinya minimal empat bulan sekali. Dan istri tidak memiliki hak pada selain itu. Dalil ulama dari kalangan madzhab ini berdasarkan firman Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 226-227.
Allah berfirman, “Lilladzina yu’luna min nisaa-ihim tarabbushu arba’ati asyhurin. Fa in faa-uu fa innallaha ghafururrahim. Wa in azamuu at-thalaaqa fa innallaha sami’un alim,”. Yang artinya, “Kepada orang-orang yang melakukan ila (bersumpah untuk tidak berhubungan badan) terhadap istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka bertekad untuk cerai, maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui,”.
Dijelaskan bahwa makna dari melakukan ila adalah mereka bersumpah untuk tidak menyetubuhi istri mereka. Para ulama kalangan Hanbali berpendapat bahwa sesungguhnya Allah telah menetapkan batas waktu empat bulan, maka dapat diketahui bahwa dia tidak diwajibkan untuk melakukannya kurang dari kurun waktu itu.
Sebab seandainya dia berkewajiban dalam waktu kurang dari itu, niscaya itu merupakan batas waktu dalam ila agar dia memenuhi apa yang diwajibkan Allah kepadanya. Pengambilan hujjah ini dinilai cukup bagus tetapi bertentangan dengan yang lebih jelas dainya. Yakni firman Allah, “Dan bergaul lah dengan mereka secara baik (patut),”.
Sebab jika dia berhasrat untuk melakukan hubungan intim, maka dikatakan bahwa kapanpun dia menghendaki, maka lakukanlah hubungan intim, dan istri harus melayaninya. Dijelaskan, bukanlah hal yang adil bila istri tidak memiliki hak dalam berhubungan intim selain tiga kali dalam setahun.