Jumat 12 May 2023 14:19 WIB

Tafsir An-Nisa 59: Sejauh Mana Rakyat dalam Menaati Pemimpinnya?

An-Nisa ayat 59 banyak menjelaskan soal kepemimpinan.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi ngaji Alquran Surah an Nisa ayat 59.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi ngaji Alquran Surah an Nisa ayat 59.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Surah an-Nisa ayat 59 membahas tentang kepemimpinan dari sisi rakyat atau warga negara.

Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (QS an-Nisa ayat 59).

Baca Juga

Imam Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya, Fatḥ al-Qadir, menjelaskan hal tersebut yang diawali dengan menyampaikan bahwa Allah SWT memerintahkan para hakim dan para gubernur (pemimpin suatu wilayah) agar memerintah dengan adil.

Di sisi lain, Allah SWT juga memerintahkan orang-orang, yang dalam hal ini rakyat, untuk mematuhi pemimpinnya.

"Ketaatan kepada Allah adalah ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan, ketaatan kepada rasul-Nya adalah ketaatan terhadap hal yang Allah perintahkan dan larang," kata Imam Asy Syaukani.

Ulil amri dalam ayat tersebut adalah mereka para imam atau pemimpin, para raja, dan para hakim, serta setiap orang yang memimpin suatu wilayah yang sesuai dengan syariat, bukan dengan thagut.

Maksud ketaatan dalam ayat itu ialah ketaaan terhadap apa yang mereka perintahkan dan larang, selama itu bukan untuk kemaksiatan. Sebab, tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah.

Dalam riwayat Jabir bin Abdullah dan Mujahid, dikatakan bahwa ulil amri adalah para ahli Alquran dan ahli ilmu. Ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Malik dan Adh Dhahak.

Diriwayatkan dari Mujahid bahwa mereka yang dimaksud adalah para sahabat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan, Ibnu Kaysan berkata, mereka yang dimaksud adalah orang-orang berakal dan punya gagasan.

Adapun '...jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu', ini merujuk sesuatu di mana terjadi ketidaksepakatan dalam sebuah pandangan. Jika diamati sekilas, ini merujuk pada perkara agama dan juga dunia.

Namun, klausa selanjutnya ialah '...maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Alquran) dan Rasul (sunahnya)'. Ini menunjukkan bahwa hal yang disengketakan atau hal di mana terjadi perselisihan itu mengacu pada persoalan agama, yang artinya bukan perkara dunia.

Maka, ketika menghadapi perselisihan pendapat yang berkaitan dengan perkara agama, kembalilah kepada kalamullah, yakni Alquran, dan hadits-hadits Nabi Muhammad.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement