REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Juru Bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS) Matthew Miller membantah kabar yang menyebut negaranya sedang mempertimbangkan untuk mencabut sanksi terhadap Menteri Pertahanan (Menhan) China Li Shangfu. Kabar itu muncul karena pernyataan Presiden AS Joe Biden saat menghadiri KTT G7 di Hiroshima, Jepang, akhir pekan lalu.
“Tidak, kami tidak mempertimbangkannya,” kata Miller saat ditanya awak media tentang apakah Deplu AS sedang mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Li Shangfu, Senin (22/5/2023), dilaporkan Bloomberg.
Dia pun menegaskan bahwa Joe Biden tidak berencana mencabut sanksi apa pun terhadap Li Shangfu atau China secara lebih luas. Saat berada di Hiroshima untuk menghadiri KTT G7 pada Ahad (21/5/2023) lalu, Biden sempat ditanya apakah AS akan mencabut sanksi terhadap Li Shangfu agar dia dapat bertemu Menhan AS Lloyd Austin. “Itu sedang dinegosiasikan sekarang,” jawab Biden.
Biden pun optimistis hubungan AS-China akan segera mencair. AS dan China diketahui berada dalam posisi saling berlawanan dalam beberapa isu. Terkait Taiwan, misalnya, Washington menjalin hubungan dekat, termasuk di bidang kerja sama pertahanan, dengan kepulauan tersebut. Keakraban AS dengan Taiwan ditentang Beijing. Hal itu karena China mengeklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Di sisi lain, AS dinilai telah melanggar prinsip “Satu Cina” yang dianutnya karena membuka hubungan dua kaki, yakni dengan Taipei dan Beijing.
Kemudian terkait isu Laut China Selatan, AS diketahui menentang klaim teritorial China atas wilayah perairan strategis tersebut. Bentuk penentangan diwujudkan Washington dengan rutin menggelar operasi kebebasan navigasi di Laut China Selatan. Beijing selalu mengecam operasi kebebasan navigasi AS karena dianggap sebagai tindakan provokatif.
Selain kedua isu itu, AS pun kerap menyoroti dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di China, terutama terhadap etnis Uighur di Provinsi Xinjiang. Sejauh ini China selalu membantah adanya pelanggaran HAM sistematis, termasuk penahanan sewenang-wenang terhadap masyarakat Uighur, di Xinjiang. Namun, Beijing tak membantah tentang keberadaan kamp-kamp di wilayah tersebut.
Pemerintah China mengklaim, kamp-kamp tersebut merupakan pusat pendidikan vokasi. Mereka didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan pada warga Uighur. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang bisa menurun.