REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyoroti keberadaan pendengung atau buzzer bayaran di media sosial. Menurut dia, buzzer bayaran tak melulu pro-pemerintah, tapi ada juga yang pro-kelompok oposisi alias antipemerintah.
Mahfud menjelaskan, selama ini muncul anggapan bahwa buzzer bayaran atau buzzer Rp selalu pro-pemerintah. Bahkan, setiap ada orang yang mendukung pemerintah di media sosial langsung dicap sebagai buzzer bayaran.
"Tapi, sebenarnya buzzer bayaran itu banyak juga yang anti-pemerintah," kata Mahfud ketika menjadi pembicara dalam seminar nasional terkait pemilu dan media, yang digelar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa (23/5/2023).
Mahfud menyebut, buzzer bayaran antipemerintah itu diorganisasi untuk membuat konten tanpa fakta. Kelompok ini juga membuat konten dengan membelokkan fakta sebenarnya demi menyerang pemerintah. Salah satu contohnya kelompok Muslim Cyber Army (MCA) yang orang-orang penggeraknya sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman.
Karena itu, Mahfud menegaskan, buzzer bayaran ada di kedua sisi, baik pemerintah maupun oposisi. Hal itu terjadi karena buzzer bayaran beroperasi bergantung pada siapa yang bayar.
"Sehingga, tidak bisa kalau Saudara mengatakan buzzer itu selalu kelompok pendukung pemerintah. Mungkin saja, saya tidak tahu dan saya sungguh tidak tahu apakah ada buzzer yang dibayar oleh pemerintah," kata Mahfud.
"Mungkin saja ada (buzzer bayaran pemerintah), tapi bukan saya yang bayar. Tetapi, yang saya tahu, dua-duanya itu ada, baik yang oposisi maupun yang pro-pemerintah ada buzzer," kata dia menambahkan.
Lebih lanjut, Mahfud menyebut konten-konten yang disebar oleh para buzzer kini mulai menyaingi konten yang dibuat media arus utama. Sebab, jumlah media mainstream hanya sekitar 1.000 pada 2022, sedangkan buzzer bayaran mencapai 800 ribu akun. "Seribu lawan 800 ribu," ujarnya.