Kamis 25 May 2023 17:24 WIB

Kritik Saut Situmorang untuk MK yang Perpanjang Jabatan Pimpinan KPK

Saut nilai mau diperpanjang 20 tahun, kalau pimpinan KPK seperti sekarang gak manfaat

Rep: Flori Sidebang/ Red: Teguh Firmansyah
Mantan pimpinan KPK, Saut Situmorang.
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA
Mantan pimpinan KPK, Saut Situmorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai perubahan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun tidak akan mempengaruhi apapun. Menurut dia, keputusan itu tak bakal membuat pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif.

"Menurut saya, putusan itu tidak mengubah secara keseluruhan pemberantasan korupsi menjadi lebih efektif efisien, nonsense itu," kata Saut saat dikonfirmasi, Kamis (25/5/2023).

Baca Juga

Saut mengatakan, keputusan itu memang merupakan kewenangan MK. Namun, ia menyebut, para hakim tidak melihat rekam jejak pimpinan KPK saat ini. "Di dalam menjalankan wewenang itu, apakah mereka sudah melihat kondisi di lapangannya kayak apa sekarang kan gitu kan," ujar Saut.

Dia pun meragukan kinerja KPK, meski masa jabatan pimpinan KPK telah ditambah. "Kalau menurut pandangan saya, anda mau ngasih 20 tahun, 10 tahun juga kalau kondisinya KPK saat ini enggak ada yang disebut bicara bermanfaat, adil, dan pasti," jelas Saut.

MK memutuskan menerima gugatan Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun. Lewat putusan itu, Ketua KPK Firli Bahuri dkk akan terus menjabat hingga tahun depan atau di masa Pemilu 2024. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat sidang pembacaan putusan pada Kamis (25/5/2023).

Hakim MK M Guntur Hamzah setuju bahwa masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan pimpinan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia seperti Komnas HAM, KY, KPU yaitu lima tahun. Sebab MK memandang pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif. Kondisi itulah yang diyakini MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance yakni lima tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan dan kesetaraan," ujar Guntur yang pernah terjerat skandal pengubahan putusan MK.

MK memang mengakui ada yang patut disorot dari kinerja pimpinan KPK saat ini. Namun KPK memilih menutup mata atas hal itu karena mendahulukan prinsip efisiensi dan manfaat. "Terlepas dari kasus konkrit berkaitan dengan kinerja pimpinan KPK yang saat ini masih menjabat, alasan berdasarkan asas manfaat dan efisiensi ini pula yang digunakan oleh Mahkamah tatkala memutus apakah perlu masa jabatan pimpinan KPK diberlakukan konsep Pergantian Antar Waktu sebagaimana Putusan nomor 5/PUU-IX/2011," ucap Guntur.

Alasan lain MK menerima perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK demi prinsip keselarasan. Masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan berakhir pada 20 Desember 2023. Kalau menggunakan skema masa jabatan empat tahun, maka Presiden dan DPR yang menjabat sekarang akan melakukan rekrutmen dua kali yaitu pada Desember 2019 dan Desember 2023.

MK menegaskan sistem perekrutan pimpinan KPK per empat tahun menyebabkan terjadi dua kali penilaian kinerja oleh Presiden dan DPR RI saat ini. Penilaian dua kali itu menurut MK dapat mengancam independensi KPK.

Sebelumnya, Nurul Ghufron mengungkapkan alasan ia meminta penambahan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun. Ghufron mengatakan masa pemerintahan di Indonesia yang ditentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI Tahun 1945 adalah lima tahun. Oleh karena itu, dia menilai seluruh periodisasi pemerintahan semestinya juga selaras dengan ketentuan itu.

Dia menilai, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia. Jika hal itu tidak disamakan, lanjutnya, maka berpotensi melanggar prinsip keadilan.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement