REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Sebab, akan ada kekacauan dari para bakal calon legislatif (caleg) yang sebelumnya sudah didaftarkan oleh partai politik ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ia menjelaskan, para bakal caleg sudah memenuhi sejumlah syarat untuk mengikuti pemilihan legislatif pada 2024. Beberapa di antaranya adalah uji kesehatan hingga membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
"Setiap partai politik calegnya itu dari DPRD kabupaten/kota, DPR jumlahnya kurang lebih 20 ribu orang, jadi kalau ada 15 partai politik itu ada 300 ribu (bakal caleg). Nah mereka ini akan kehilangan hak konstitusionalnya kalau dia pakai sistem tertutup," ujar Kahar di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023),
MK akan menerima gugatan kembali, jika mereka memutuskan penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Sebab, akan ada ribuan bakal caleg yang kecewa dengan putusan MK tersebut.
Padahal, sistem proporsional terbuka merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.
"Ya bagi yang memutuskan sistem tertutup, bayangkan 300 ribu orang itu minta ganti rugi dan dia berbondong-bondong datang ke MK, agak gawat juga MK itu. Jadi kalau ada yang coba merubah-ubah sistem itu, orang yang mendaftar sebanyak itu akan memprotes," ujar Kahar.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengkritisi jika MK benar akan mengabulkan gugatan terhadap sistem proporsional terbuka. Jika gugatan tersebut dikabulkan, ada potensi bahwa Pemilu 2024 akan menerapkan sistem proporsional tertutup.
Karenanya, ia berharap sembilan hakim MK objektif jelang putusan yang kabarnya akan dilakukan pada 31 Mei 2023. Apalagi masyarakat dan delapan fraksi di DPR sudah menyatakan penolakannya terhadap sistem proporsional tertutup.
"Kami sebetulnya ya masih sangat berharap sembilan hakim MK itu, ini belum ada keputusan, proses persidangan masih berjalan, dan kami yakin hakim MK itu masih berpikir jernih, punya hati nurani, dan berpikir objektif melihat seperti yang saya katakan itu dalam pengambilan keputusan," ujar Doli.
Jika Pemilu 2024 tiba-tiba menerapkan sistem proporsional tertutup, hal tersebut akan berimplikasi kepada banyak hal terkait perundang-undangannya. Bahkan, akan berdampak langsung pada pelaksanaan kontestasi itu sendiri.
Ia menjelaskan, perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup tak hanya berimplikasi pada satu atau dua pasal saja. Jika benar berubah, sistem proporsional akan berdampak pada setidaknya 20 pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kalau tiba-tiba itu dihentikan, ini (sistem proporsional) tertutup ini kan tidak ada, jadi bubar jalan ini. Bayangkan mereka (bakal caleg) yang sudah ikut, mengurus SKCK, ngurus pengadilan, terus kesehatan, dan tiba-tiba apa yang mereka kerjakan itu tidak ada artinya, itu kan juga akan menimbulkan implikasi," ujar Doli.