REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Nasdem menjadi satu di antara delapan fraksi di DPR yang menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu). Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tak ikut menolak sistem tersebut.
Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR Roberth Rouw meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga bersikap jelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya dalam mengawal demokrasi, agar pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Kami minta beliau sendiri sampaikan, beliau harus ikut cawe-cawe untuk menjaga kelanjutan pembangunan dan stabilitas negara dalam rangka Pemilu 2024," ujar Roberth di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Penerapan sistem proporsional terbuka, jelasnya, bukan hanya harapan dari delapan fraksi yang ada di DPR. Namun, juga menjadi harapan rakyat yang memiliki hak suara untuk memilih wakilnya di parlemen.
"Bersualah kepada MK, agar MK tidak buat gaduh politik yang sudah kami jalani sudah lebih dari setahun proses pemilu ini kami lakukan," ujar Roberth.
"Tinggal berapa bulan lagi, kalau ini sampai dilakukan oleh MK, maka bagaimana kegaduhan yang akan terjadi. Khususnya di partai-partai kami ini, caleg akan bergaduh mulai dari tingkat bawah DPRD provinsi sampai pusat," sambungnya.
Sistem proporsional terbuka merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.
Sementara itu pada 2022, pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka kembali digugat ke MK. Sebanyak enam orang menjadi pemohon gugatan tersebut, yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Yuwono Pintadi Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan, Jawa Tengah), dan Nono Marijono (warga Depok, Jawa Barat).
Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir mengatakan, akan ada kekacauan jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 2024. Khususnya yang berkaitan dengan kontestasi para bakal calon legislatif (caleg).
"Bayangkan 300 ribu orang (bakal caleg) itu minta ganti rugi dan dia berbondong-bondong datang ke MK agak gawat juga MK itu. Jadi kalau ada yang coba mengubah-ubah sistem itu orang yang mendaftar sebanyak itu akan memprotes," ujar Kahar.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono kemarin menjelaskan, gugatan pengujian UU Pemilu menyangkut sistem pemilu belum mencapai tahap putusan berdasarkan agenda persidangan. Perkara itu baru memasuki tahap penyerahan kesimpulan para pihak pada 31 Mei 2023.
"Setelah itu, berdasarkan persidangan dan dokumen-dokumen perkara, baru akan dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim dalam RPH (rapat permusyawaratan hakim)," ujar Fajar.
Selanjutnya, MK akan mengagendakan sidang pengucapan putusan ketika putusan sudah siap. Berdasarkan pantauan Republika hingga Senin siang ini, MK memang belum merilis jadwal putusan perkara yang dimaksud oleh Denny Indrayana.
"Jadi dibahas dalam RPH saja belum," ujar Fajar.